Tak dapat dipungkiri, musik adalah bahasa
pemersatu setiap jiwa. Tak berlebihan apabila ada orang besar berucap bahwa
musik adalah bahasa universal. Buktinya bisa kau temukan di mana saja. Bisa di
darat, laut, udara, pasar, gunung, desa, kota, kantor, pabrik, sawah di manapun
ada yang namanya manusia.
Karena musik pula orang rela bergoyang, atau
secara tak sadar menghentakkan kaki, manggut-manggut sampai keblinger
memutarkan kepala. Intinya, musik bisa membius siapa saja. Dengan syarat, harus
mempunyai pendengaran yang bisa digunakan dengan baik dan selera yang sama.
Bagiku sendiri, musik adalah sebuah kegemaran.
Aku cenderung tidak pilih-pilih, bagiku musik adalah enak didengar, sesuai
musim, mengikuti sikon dan tidak terlalu mendayu-dayu. Musik melayu juga
menjadi salah satu kegemaranku selain dangdut. Aku tidak mengada-ada, kawan.
Kau mungkin terkejut, tapi harus aku katakan sejujurnya, musik pertama yang aku
mainkan adalah musik melayu. Aku lupa judulnya, biar kuingat beberapa syairnya.
Ooohohohoo... putih kuning berderai-derai
Berkilau-kilau keemasan, bagai kasih seluruh
alam
Atau,
Kala senja, datang, riang gembira
Tiba-tiba datang angin kencang
Atau,
Engkau laksana bulan, tinggi di atas khayangan
Hatiku tlah kau tawan, hidupku tak karuan
Ya, kawan. Musik melayulah yang sering aku
dengar. Figur ayahku adalah sosok yang paling mempengaruhi selera musikku.
Mungkin, izinkan aku sedikit bercerita kali ini.
Sewaktu aku masih kecil sekali, seingatku,
saat itu aku masih kelas empat sekolah dasar. Aku terserang penyakit hebat,
aneh dan sulit diobati. Pengobatan kampung sudah aku coba, tapi hasilnya nihil.
Tak ada yang bisa menyembuhkan. Akhirnya, aku pun menyerah pada keputusan
opname di rumah sakit. Aku harus merelakan lenganku ditusuk jarum. Aku pun
harus rela terkulai.
Hari demi hari yang menyakitkan kulalui di
rumah sakit. Mulai tak bisa makan, sampai akhirnya makanan itu disuntikkan ke
dalam lambungku langsung lewat selang yang menusuk hidungku. Sampai susah
menggerakkan kepala karena pusing. Bagiku, cukup itulah penderitaanku. Aku
sampai sekarang masih bergidik mengingat kejadian itu.
Di rumah sakit, aku ditemani bergiliran oleh
abah dan mamaku. Karena keduanya adalah pegawai negeri, keduanya pun mengatur
shift menjagaku di rumah sakit. Dan saat itulah kawan, saat shift abahku-lah
aku mengenal musik.
Abahku datang membawa sebuah organ mini. Lalu
memainkannya disampingku yang sedang terkulai, sesekali berdendang merdu. Ya,
suara abahku memang merdu. Apalagi kalau mengaji.
Disitulah aku mengenal tangga nada not pada
tombol putih hitam organ mini itu. Disitu pula akhirnya aku sepenuhnya tahu
bahwa abahku mempunyai jiwa seni yang sangat besar. Disitu pula abahku buka
kartu, bahwa sebenarnya penyanyi idolanya selain Broery Marantika adalah P.
Ramlee. Biduan Melayu dengan kumis yang khas itu.
Ayahku lalu menuturkan kisah hidupnya sewaktu
di pesantren dulu. Saat itu beliau berada dalam pilihan yang pelik. Antara
hidup dan mati. Dunia akherat.
Ayahku begitu menggemari orkes keliling yang
menyanyikan lagu-lagu P.Ramlee. Beliau rela disuruh mengisi lampu semprong demi
bisa menyaksikan orkes melayu di pasar Arba tiap malam minggu. Sebuah rombongan
orkes berisi kepala orkes dengan dandanan menor dan rambut klimis, dua orang
biduan dan seorang biduanita serta satu grup pengiring yang sudah kemana-mana
di kawasan Hulu Sungai Utara.
Karena sering menonton orkes keliling,
akhirnya sang kepala orkes pun kenal dengan ayahku. Terlebih, kepala orkes
tersebut menyadari sepenuhnya bakat alami yang ayahku miliki. Suara emas beliau
pun akan dikomersilkan. Dan, namanya anak muda. Ayahku pun tergiur.
Tak bisa lama, berita ini pun tersebar di
seantero pondok. Ayahku dipanggil Tuan Guru. Disuruh menghadap. Dengan pucat,
ayahku masuk ke ruang tamu rumah Tuan Guru Ihsan Kamil.
“Wahdan, aku dengan kau ditawari menjadi
biduan oleh rombongan orkes melayu itu.”
“Inggih, tuan guru...”jawab ayahku kelu.
“Wahdan, suaramu memang bagus. Tak ada yang
meragukan saat kau mengaji. Aku bangga sekali bisa mengajarmu di pesantren
ini.” Tuan Guru mulai mengangkat ayahku tinggi ke langit.
“Tapi, Wahdan...”, bersiaplah untuk segera
dihempaskan kembali ke bumi.
“Aku mengajarimu untuk mengamalkan dan
memperbagus Al-Quran. Bukan syair-syair biduan itu, bukan syair kasmaran itu.”
Ayahku tersentak. Tak berkutik.
“Aku tak bangga pabila kau dipuja puji karena
menyanyikan lagu-lagu itu. Tapi aku akan sangat bangga dunia akherat, dipuja
puji malaikat apabila yang kau lantunkan itu kalam Ilahi!”
Keringat mulai bercucuran.
“Mulai sekarang, kau pilih. Ikut rombongan
orkes itu, tapi bereskan pakaianmu dan keluar dari pondok ini. Atau, kau tetap
di sini untuk bekal dunia dan akheratmu tapi jangan pernah bermimpi untuk bisa
menyanyi untuk orkes itu.” Tawar Tuan Guru tegas.
Sambil meneguk liur, ayahku beringsut mencium
tangan Tuan Guru. Tanda jawaban untuk pilihan kedua.
Ayahku sadar. Musik hanyalah bumbu hidupnya,
sedangkan Al-Quran adalah hidupnya itu sendiri. Darahnya, dan mungkin anugrah
Allah pada suaranya adalah untuk Al-Quran itu sendiri. Bukan untuk orkes
melayu.
Akhirnya, sampailah ayahku pada keadaannya
sekarang. Tetap menyukai musik, tapi lebih sering menjadi dewan Hakim pada
Musabaqah Tilawatil Quran. Aku sadar, semabuk-mabuknya ayahku pada musik, dalam
hatinya tetap ada Al-Quran.
Itulah yang selalu dikatakan ayahku saat aku
mulai keranjingan musik. Jangan jadikan musik penghalang masuknya hidayah
Al-Quran ke dalam hatimu. Ya, musik dimainkan, adzan berkumandang, shalat, baca
Al-Quran, musik lagi. Intinya itu saja, simpel sekali.