Senin, 07 Oktober 2013

Mukjizat yang bisa Disentuh Manusia

Tak dapat dipungkiri, musik adalah bahasa pemersatu setiap jiwa. Tak berlebihan apabila ada orang besar berucap bahwa musik adalah bahasa universal. Buktinya bisa kau temukan di mana saja. Bisa di darat, laut, udara, pasar, gunung, desa, kota, kantor, pabrik, sawah di manapun ada yang namanya manusia.

Karena musik pula orang rela bergoyang, atau secara tak sadar menghentakkan kaki, manggut-manggut sampai keblinger memutarkan kepala. Intinya, musik bisa membius siapa saja. Dengan syarat, harus mempunyai pendengaran yang bisa digunakan dengan baik dan selera yang sama.

Bagiku sendiri, musik adalah sebuah kegemaran. Aku cenderung tidak pilih-pilih, bagiku musik adalah enak didengar, sesuai musim, mengikuti sikon dan tidak terlalu mendayu-dayu. Musik melayu juga menjadi salah satu kegemaranku selain dangdut. Aku tidak mengada-ada, kawan. Kau mungkin terkejut, tapi harus aku katakan sejujurnya, musik pertama yang aku mainkan adalah musik melayu. Aku lupa judulnya, biar kuingat beberapa syairnya.

Ooohohohoo... putih kuning berderai-derai
Berkilau-kilau keemasan, bagai kasih seluruh alam
Atau,
Kala senja, datang, riang gembira
Tiba-tiba datang angin kencang
Atau,
Engkau laksana bulan, tinggi di atas khayangan
Hatiku tlah kau tawan, hidupku tak karuan

Ya, kawan. Musik melayulah yang sering aku dengar. Figur ayahku adalah sosok yang paling mempengaruhi selera musikku. Mungkin, izinkan aku sedikit bercerita kali ini.

Sewaktu aku masih kecil sekali, seingatku, saat itu aku masih kelas empat sekolah dasar. Aku terserang penyakit hebat, aneh dan sulit diobati. Pengobatan kampung sudah aku coba, tapi hasilnya nihil. Tak ada yang bisa menyembuhkan. Akhirnya, aku pun menyerah pada keputusan opname di rumah sakit. Aku harus merelakan lenganku ditusuk jarum. Aku pun harus rela terkulai.

Hari demi hari yang menyakitkan kulalui di rumah sakit. Mulai tak bisa makan, sampai akhirnya makanan itu disuntikkan ke dalam lambungku langsung lewat selang yang menusuk hidungku. Sampai susah menggerakkan kepala karena pusing. Bagiku, cukup itulah penderitaanku. Aku sampai sekarang masih bergidik mengingat kejadian itu.

Di rumah sakit, aku ditemani bergiliran oleh abah dan mamaku. Karena keduanya adalah pegawai negeri, keduanya pun mengatur shift menjagaku di rumah sakit. Dan saat itulah kawan, saat shift abahku-lah aku mengenal musik.

Abahku datang membawa sebuah organ mini. Lalu memainkannya disampingku yang sedang terkulai, sesekali berdendang merdu. Ya, suara abahku memang merdu. Apalagi kalau mengaji.

Disitulah aku mengenal tangga nada not pada tombol putih hitam organ mini itu. Disitu pula akhirnya aku sepenuhnya tahu bahwa abahku mempunyai jiwa seni yang sangat besar. Disitu pula abahku buka kartu, bahwa sebenarnya penyanyi idolanya selain Broery Marantika adalah P. Ramlee. Biduan Melayu dengan kumis yang khas itu.

Ayahku lalu menuturkan kisah hidupnya sewaktu di pesantren dulu. Saat itu beliau berada dalam pilihan yang pelik. Antara hidup dan mati. Dunia akherat.

Ayahku begitu menggemari orkes keliling yang menyanyikan lagu-lagu P.Ramlee. Beliau rela disuruh mengisi lampu semprong demi bisa menyaksikan orkes melayu di pasar Arba tiap malam minggu. Sebuah rombongan orkes berisi kepala orkes dengan dandanan menor dan rambut klimis, dua orang biduan dan seorang biduanita serta satu grup pengiring yang sudah kemana-mana di kawasan Hulu Sungai Utara.

Karena sering menonton orkes keliling, akhirnya sang kepala orkes pun kenal dengan ayahku. Terlebih, kepala orkes tersebut menyadari sepenuhnya bakat alami yang ayahku miliki. Suara emas beliau pun akan dikomersilkan. Dan, namanya anak muda. Ayahku pun tergiur.

Tak bisa lama, berita ini pun tersebar di seantero pondok. Ayahku dipanggil Tuan Guru. Disuruh menghadap. Dengan pucat, ayahku masuk ke ruang tamu rumah Tuan Guru Ihsan Kamil.

“Wahdan, aku dengan kau ditawari menjadi biduan oleh rombongan orkes melayu itu.”

“Inggih, tuan guru...”jawab ayahku kelu.

“Wahdan, suaramu memang bagus. Tak ada yang meragukan saat kau mengaji. Aku bangga sekali bisa mengajarmu di pesantren ini.” Tuan Guru mulai mengangkat ayahku tinggi ke langit.

“Tapi, Wahdan...”, bersiaplah untuk segera dihempaskan kembali ke bumi.

“Aku mengajarimu untuk mengamalkan dan memperbagus Al-Quran. Bukan syair-syair biduan itu, bukan syair kasmaran itu.”

Ayahku tersentak. Tak berkutik.

“Aku tak bangga pabila kau dipuja puji karena menyanyikan lagu-lagu itu. Tapi aku akan sangat bangga dunia akherat, dipuja puji malaikat apabila yang kau lantunkan itu kalam Ilahi!”

Keringat mulai bercucuran.

“Mulai sekarang, kau pilih. Ikut rombongan orkes itu, tapi bereskan pakaianmu dan keluar dari pondok ini. Atau, kau tetap di sini untuk bekal dunia dan akheratmu tapi jangan pernah bermimpi untuk bisa menyanyi untuk orkes itu.” Tawar Tuan Guru tegas.

Sambil meneguk liur, ayahku beringsut mencium tangan Tuan Guru. Tanda jawaban untuk pilihan kedua.
Ayahku sadar. Musik hanyalah bumbu hidupnya, sedangkan Al-Quran adalah hidupnya itu sendiri. Darahnya, dan mungkin anugrah Allah pada suaranya adalah untuk Al-Quran itu sendiri. Bukan untuk orkes melayu.

Akhirnya, sampailah ayahku pada keadaannya sekarang. Tetap menyukai musik, tapi lebih sering menjadi dewan Hakim pada Musabaqah Tilawatil Quran. Aku sadar, semabuk-mabuknya ayahku pada musik, dalam hatinya tetap ada Al-Quran.

Itulah yang selalu dikatakan ayahku saat aku mulai keranjingan musik. Jangan jadikan musik penghalang masuknya hidayah Al-Quran ke dalam hatimu. Ya, musik dimainkan, adzan berkumandang, shalat, baca Al-Quran, musik lagi. Intinya itu saja, simpel sekali.

Ayahku selalu berkata, musik itu hanya sebagai pemanis jiwa. Tapi bukan sesuatu yang memandunya. Musik itu hanya intuisi, tapi bukan ilhami. Kau boleh nikmati musik, tapi harus tetap rajin membaca Al-Quran. Karena di dalamnya hidayah, obat dan hikayat luar biasa. Al-Quran adalah mukjizat luar biasa yang pernah disentuh manusia.

Kamis, 25 April 2013

Semiotika Jilbab


Pagi buta, selepas kehebohan orang-orang yang berhamburan terkocar-kacir. Keluar dari sebuah Xenia, seorang wanita gemuk paruh baya berkerudung. Wajahnya menampakkan kebingungan. Wajar saja, korban-korban yang ditabraknya bergelimpangan tak berdaya di bahu jalan. Tepat di depan halte Tugu Tani.

Pagi itu bagaikan sebuah mimpi buruk bagi seorang Afriyani.Dia tidak menyangka, pagi itu harus langsung berurusan dengan keramaian. Kerudung,wajah murung dan kepala tertunduk.
Afriyani Susanti, tersangka kasus tabrakan di Halte Tugu Tani

Neneng Sri Wahyuni, tersangka kasus korupsi yang juga istri mantan Bendum Partai Demokrat, Nazaruddin


Di tempat dan waktu yang berbeda. Seorang wanita bercadar terduduk di tengah sebuah ruangan. Di hadapannya tiga orang duduk menatapnya tajam. Di sebelah kirinya, tampak seorang jaksa penuntut umum membacakan tuntutan-tuntutan yang berlembar-lembar. Bahkan, ratusan halaman.

Neneng Sri Wahyuni tidak menyangka dirinya bakal duduk sebagai pesakitan, padahal sebelumnya menikmati kehidupan bebas nan menyenangkan. Perubahan begitu cepat, begitupula perubahan dalam penampilannya. Sebelumnya, dia tidak mengenakan kerudung. Tapi kini, cadar lengkap yang menutupi wajahnya. Wartawan yang hadir mengabadikan cadar, mata sendu dan kepala yang juga tertunduk.


Kerudung, cadar dan jilbab pada dasarnya adalah pakaian yang diperintahkan Allah untuk digunakan oleh perempuan. Tujuannya adalah untuk menutupi aurat dan menundukkan pandangan para pria. Tapi seiring perkembangan zaman, kerudung bisa menjadi pakaian yang serba guna. Salah satunya memunculkan simpati dan simbol pertaubatan.

Branston dan Stafford, dalam buku mereka yang berjudul "The Media Student's Book, menuturkan betapa simbol-simbol baik berupa kata-kata, gambar dan gestur sangat berpengaruh terhadap pemaknaan bagi orang yang melihatnya. Pemaknaan yang subjektif dan kaya pun akan muncul seiring dengan merebaknya fenomena-fenomena. Dalam hal ini, penggunaan jilbab,cadar dan kerudung oleh para tersangka wanita.

Beragam komentar dan pernyataan pun tidak bisa dihindari bermunculan. Pernyataan paling keras muncul dari Front Pembela Islam lewat kuasa hukumnya, Munarman. FPI memprotes keras para wanita yang tersangkut kasus hukum tiba-tiba menggunakan jilbab, khususnya pada kasus Neneng Sri Wahyuni. Bahkan FPI menganggap penggunaan jilbab oleh Neneng sebagai bentuk pelecehan terhadap jilbab.

Komentar lain datang dari Tutty Alawiyah yang mengemukakan bahwa pemakaian jilbab oleh para tersangka wanita adalah sebuah manipulasi, karena tersangka tiba-tiba menggunakan jilbab saat tertangkap, padahal sebelumnya tidak. Ia khawatir umat Islam dituding tidak baik terkait perilaku tersangka yang berujung merugikan muslimah dan umat Islam pada umumnya.

Seorang kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana bahkan menyebut fenomena penggunaan busana muslim ini sebagai sebuah sandiwara untuk mengundang simpati hakim agar mengurangi masa hukumannya. Di sisi lain, ia berpendapat bisa saja perubahan penampilan yang dilakukan semata-mata sebagai bentuk pertobatan. Tapi nyatanya, walaupun dia menggunakan pakaian selain jilbab, hal itu bukan merupakan pelecehan terhadap peradilan (contempt of court).

Pendapat berbeda diutarakan oleh KH. Said Aqil Siraj, beliau menyatakan bahwa penegak hukum tidak boleh tertipu oleh penampilan alim para tersangka, dan mereka harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Karena, menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, penggunaan jilbab atau cadar tidak berpengaruh baginya karena menurutnya – seraya mengutip hadits Nabi Muhammad Saw- iman itu terletak di hati, bukan di penampilan fisik.

Akan tetapi, Dirjen Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM, Sihabuddin berpendapat lain. Menurutnya, wajar saja para tersangka wanita menggunakan jilbab karena tidak ada undang-undang yang mengatur hal tersebut selama peradilan. “Yang pasti hanya harus sopan berperilaku saat sidang”, ujarnya. Menurutnya, jika para tersangka itu beragama Islam maka dianjurkan bagi mereka untuk berpakaian sopan dan menutup aurat.

Semua komentar di atas merupakan refleksi dari sebuah pemaknaan terhadap jilbab itu sendiri. Tapi alangkah lebih baiknya kita bisa untuk menjaga kesucian jilbab, kerudung dan cadar itu. Agar tidak tergeser dari nilai-nilai yang dibawa sejak awal pensyariatannya. Wallahu a’lam.

Jakarta, 25 April 2013
PasebanTengah, Kosan Bang Nasrul.


Jumat, 08 Maret 2013

Suatu Sore Dalam Sebuah Kantuk

Kamu adalah apa yang kamu pikirkan. Dirimu adalah apa yang kau lihat. Jiwamu adalah apa yang engkau dengar.



Sore itu sebenarnya saya sudah benar-benar kliyengan mendengarkan mata kuliah Media dan Pers Islam yang diajarkan Prof. Andi. Tapi saya maksa-maksain leher supaya tetap tegak. Selain karena alasan utama menghormati beliau, saya juga punya alasan lain. Sebab, saya duduk tepat di hadapan beliau.

Kuliah yang beliau sampaikan sebenarnya baik dan menarik bagi yang faham dunia media dan pers. Tapi sayang, saya anak bau kencur dalam dunia itu. Ibarat orang sudah berlari, saya masih ngesot.

Tapi satu hal yang membuat mata saya tiba-tiba segar. Yaitu saat beliau menelurkan istilah Opinion Leader yang dalam hal ini umumnya diwakili oleh media. Dalam hal ini, saya merasa agak nyambung-nyambung dikit.

Saya bukan pemerhati media apalagi kritikus. Saya hanya orang yang kadang menggerutu mendengar kabar baik yang sangat jarang datang dari Indonesia, atau kesal karena kuping saya selalu dijejali oleh ironi-ironi. Baik buruk, kaya miskin, lemah kuat, tampan jelek. Bagi saya, saya serius, istilah yang terakhir sangat menohok.

Media saat ini, disertai globalisasi yang ampun-ampunan, sangat memainkan peran penting dalam mind setting. Semua opini dibentuk dari media. Semua yang bisa lihat diluar pandangan mata, itu adalah permainan media. Hal yang kecil jadi besar, dan sebaliknya.

Opinion Leader menciptakan sebuah opini dari sebuah kejadian. Contoh simpelnya, kejadian yang sebenarnya biasa-biasa saja, bisa menjadi luar biasa dari sudut pandang pembuat opini ini. Begitupula sebaliknya, kejadian yang sebenarnya sangat luar biasa, bisa menjadi terendap, seperti tidak ada apa-apa. Diluar peran itu, opinion leader pula yang berhak untuk mewartakan apa yang pantas dan menarik untuk diberitakan dan apa yang tidak menarik dan tidak perlu.

Contoh paling dekat adalah berita tentang "penolakan" sejumlah rumah sakit kepada pasien kurang mampu. Saya yakin, hal ini tidak terjadi satu kali. Tapi banyak dan tersebar di mana-mana, sayangnya media cepat tenggelam dalam pemberitaannya, kalah oleh ramainya blantika politik Nusantara. Tapi begitu ada upaya blow up, entah sebagai upaya pengalihan isu, hal ini menjadi cetar membahana.

Begitu juga tentang maraknya tren berkerudung bagi siapapun yang sedang berurusan dengan hukum. Contohnya Afriyani, Nunung (istrinya Nazar, tersangka kasus korupsi dan suap) dan terakhir, Maharani yang dijumpai berkerudung dalam jumpa pers. Belum saya temukan media yang membahas secara khusus, mengapa wanita-wanita ini tiba-tiba "insaf".

Mungkin, bagi kita yang sadar. Kita masih bisa memfilternya. Menyaring dari apa yang kira-kira kurang tepat untuk diambil. Bukan saja untuk kita, tapi nanti untuk anak-anak kita.

Tapi barangkali, ada hal yang lebih penting dari sekedar memfilter opini. Yaitu menggali opini yang mungkin saja sengaja tidak diberitakan oleh opinion leader. Padahal, sejatinya hal itu penting untuk kita. Bukan saja dalam kontribusinya sebagai penyeimbang opini, tapi memperkaya khazanah pemikiran kita.

Tapi sekali lagi, saya bukan pemerhati media apalagi orang yang pandai menulis kritik tentang fenomena sosial ini. Saya hanya orang yang lebih sering menikmati dari jauh. Lebih sering menjadi outsider. Ya, kali ini saya benar-benar sedang ngeles.

Keinginan saya pun sama dengan rakyat-rakyat yang lain. Saya ingin sesekali mendengar berita yang melegakan, di sela-sela berita yang marak dan membuat sakit hati, juga sakit kuping. Ibaratnya, sebuah oase di tengah padang gurun.

Itulah kenyataan. Kenyataan yang harus saya, dan kita hadapi bersama-sama.