Senin, 07 Oktober 2013

Mukjizat yang bisa Disentuh Manusia

Tak dapat dipungkiri, musik adalah bahasa pemersatu setiap jiwa. Tak berlebihan apabila ada orang besar berucap bahwa musik adalah bahasa universal. Buktinya bisa kau temukan di mana saja. Bisa di darat, laut, udara, pasar, gunung, desa, kota, kantor, pabrik, sawah di manapun ada yang namanya manusia.

Karena musik pula orang rela bergoyang, atau secara tak sadar menghentakkan kaki, manggut-manggut sampai keblinger memutarkan kepala. Intinya, musik bisa membius siapa saja. Dengan syarat, harus mempunyai pendengaran yang bisa digunakan dengan baik dan selera yang sama.

Bagiku sendiri, musik adalah sebuah kegemaran. Aku cenderung tidak pilih-pilih, bagiku musik adalah enak didengar, sesuai musim, mengikuti sikon dan tidak terlalu mendayu-dayu. Musik melayu juga menjadi salah satu kegemaranku selain dangdut. Aku tidak mengada-ada, kawan. Kau mungkin terkejut, tapi harus aku katakan sejujurnya, musik pertama yang aku mainkan adalah musik melayu. Aku lupa judulnya, biar kuingat beberapa syairnya.

Ooohohohoo... putih kuning berderai-derai
Berkilau-kilau keemasan, bagai kasih seluruh alam
Atau,
Kala senja, datang, riang gembira
Tiba-tiba datang angin kencang
Atau,
Engkau laksana bulan, tinggi di atas khayangan
Hatiku tlah kau tawan, hidupku tak karuan

Ya, kawan. Musik melayulah yang sering aku dengar. Figur ayahku adalah sosok yang paling mempengaruhi selera musikku. Mungkin, izinkan aku sedikit bercerita kali ini.

Sewaktu aku masih kecil sekali, seingatku, saat itu aku masih kelas empat sekolah dasar. Aku terserang penyakit hebat, aneh dan sulit diobati. Pengobatan kampung sudah aku coba, tapi hasilnya nihil. Tak ada yang bisa menyembuhkan. Akhirnya, aku pun menyerah pada keputusan opname di rumah sakit. Aku harus merelakan lenganku ditusuk jarum. Aku pun harus rela terkulai.

Hari demi hari yang menyakitkan kulalui di rumah sakit. Mulai tak bisa makan, sampai akhirnya makanan itu disuntikkan ke dalam lambungku langsung lewat selang yang menusuk hidungku. Sampai susah menggerakkan kepala karena pusing. Bagiku, cukup itulah penderitaanku. Aku sampai sekarang masih bergidik mengingat kejadian itu.

Di rumah sakit, aku ditemani bergiliran oleh abah dan mamaku. Karena keduanya adalah pegawai negeri, keduanya pun mengatur shift menjagaku di rumah sakit. Dan saat itulah kawan, saat shift abahku-lah aku mengenal musik.

Abahku datang membawa sebuah organ mini. Lalu memainkannya disampingku yang sedang terkulai, sesekali berdendang merdu. Ya, suara abahku memang merdu. Apalagi kalau mengaji.

Disitulah aku mengenal tangga nada not pada tombol putih hitam organ mini itu. Disitu pula akhirnya aku sepenuhnya tahu bahwa abahku mempunyai jiwa seni yang sangat besar. Disitu pula abahku buka kartu, bahwa sebenarnya penyanyi idolanya selain Broery Marantika adalah P. Ramlee. Biduan Melayu dengan kumis yang khas itu.

Ayahku lalu menuturkan kisah hidupnya sewaktu di pesantren dulu. Saat itu beliau berada dalam pilihan yang pelik. Antara hidup dan mati. Dunia akherat.

Ayahku begitu menggemari orkes keliling yang menyanyikan lagu-lagu P.Ramlee. Beliau rela disuruh mengisi lampu semprong demi bisa menyaksikan orkes melayu di pasar Arba tiap malam minggu. Sebuah rombongan orkes berisi kepala orkes dengan dandanan menor dan rambut klimis, dua orang biduan dan seorang biduanita serta satu grup pengiring yang sudah kemana-mana di kawasan Hulu Sungai Utara.

Karena sering menonton orkes keliling, akhirnya sang kepala orkes pun kenal dengan ayahku. Terlebih, kepala orkes tersebut menyadari sepenuhnya bakat alami yang ayahku miliki. Suara emas beliau pun akan dikomersilkan. Dan, namanya anak muda. Ayahku pun tergiur.

Tak bisa lama, berita ini pun tersebar di seantero pondok. Ayahku dipanggil Tuan Guru. Disuruh menghadap. Dengan pucat, ayahku masuk ke ruang tamu rumah Tuan Guru Ihsan Kamil.

“Wahdan, aku dengan kau ditawari menjadi biduan oleh rombongan orkes melayu itu.”

“Inggih, tuan guru...”jawab ayahku kelu.

“Wahdan, suaramu memang bagus. Tak ada yang meragukan saat kau mengaji. Aku bangga sekali bisa mengajarmu di pesantren ini.” Tuan Guru mulai mengangkat ayahku tinggi ke langit.

“Tapi, Wahdan...”, bersiaplah untuk segera dihempaskan kembali ke bumi.

“Aku mengajarimu untuk mengamalkan dan memperbagus Al-Quran. Bukan syair-syair biduan itu, bukan syair kasmaran itu.”

Ayahku tersentak. Tak berkutik.

“Aku tak bangga pabila kau dipuja puji karena menyanyikan lagu-lagu itu. Tapi aku akan sangat bangga dunia akherat, dipuja puji malaikat apabila yang kau lantunkan itu kalam Ilahi!”

Keringat mulai bercucuran.

“Mulai sekarang, kau pilih. Ikut rombongan orkes itu, tapi bereskan pakaianmu dan keluar dari pondok ini. Atau, kau tetap di sini untuk bekal dunia dan akheratmu tapi jangan pernah bermimpi untuk bisa menyanyi untuk orkes itu.” Tawar Tuan Guru tegas.

Sambil meneguk liur, ayahku beringsut mencium tangan Tuan Guru. Tanda jawaban untuk pilihan kedua.
Ayahku sadar. Musik hanyalah bumbu hidupnya, sedangkan Al-Quran adalah hidupnya itu sendiri. Darahnya, dan mungkin anugrah Allah pada suaranya adalah untuk Al-Quran itu sendiri. Bukan untuk orkes melayu.

Akhirnya, sampailah ayahku pada keadaannya sekarang. Tetap menyukai musik, tapi lebih sering menjadi dewan Hakim pada Musabaqah Tilawatil Quran. Aku sadar, semabuk-mabuknya ayahku pada musik, dalam hatinya tetap ada Al-Quran.

Itulah yang selalu dikatakan ayahku saat aku mulai keranjingan musik. Jangan jadikan musik penghalang masuknya hidayah Al-Quran ke dalam hatimu. Ya, musik dimainkan, adzan berkumandang, shalat, baca Al-Quran, musik lagi. Intinya itu saja, simpel sekali.

Ayahku selalu berkata, musik itu hanya sebagai pemanis jiwa. Tapi bukan sesuatu yang memandunya. Musik itu hanya intuisi, tapi bukan ilhami. Kau boleh nikmati musik, tapi harus tetap rajin membaca Al-Quran. Karena di dalamnya hidayah, obat dan hikayat luar biasa. Al-Quran adalah mukjizat luar biasa yang pernah disentuh manusia.

Kamis, 25 April 2013

Semiotika Jilbab


Pagi buta, selepas kehebohan orang-orang yang berhamburan terkocar-kacir. Keluar dari sebuah Xenia, seorang wanita gemuk paruh baya berkerudung. Wajahnya menampakkan kebingungan. Wajar saja, korban-korban yang ditabraknya bergelimpangan tak berdaya di bahu jalan. Tepat di depan halte Tugu Tani.

Pagi itu bagaikan sebuah mimpi buruk bagi seorang Afriyani.Dia tidak menyangka, pagi itu harus langsung berurusan dengan keramaian. Kerudung,wajah murung dan kepala tertunduk.
Afriyani Susanti, tersangka kasus tabrakan di Halte Tugu Tani

Neneng Sri Wahyuni, tersangka kasus korupsi yang juga istri mantan Bendum Partai Demokrat, Nazaruddin


Di tempat dan waktu yang berbeda. Seorang wanita bercadar terduduk di tengah sebuah ruangan. Di hadapannya tiga orang duduk menatapnya tajam. Di sebelah kirinya, tampak seorang jaksa penuntut umum membacakan tuntutan-tuntutan yang berlembar-lembar. Bahkan, ratusan halaman.

Neneng Sri Wahyuni tidak menyangka dirinya bakal duduk sebagai pesakitan, padahal sebelumnya menikmati kehidupan bebas nan menyenangkan. Perubahan begitu cepat, begitupula perubahan dalam penampilannya. Sebelumnya, dia tidak mengenakan kerudung. Tapi kini, cadar lengkap yang menutupi wajahnya. Wartawan yang hadir mengabadikan cadar, mata sendu dan kepala yang juga tertunduk.


Kerudung, cadar dan jilbab pada dasarnya adalah pakaian yang diperintahkan Allah untuk digunakan oleh perempuan. Tujuannya adalah untuk menutupi aurat dan menundukkan pandangan para pria. Tapi seiring perkembangan zaman, kerudung bisa menjadi pakaian yang serba guna. Salah satunya memunculkan simpati dan simbol pertaubatan.

Branston dan Stafford, dalam buku mereka yang berjudul "The Media Student's Book, menuturkan betapa simbol-simbol baik berupa kata-kata, gambar dan gestur sangat berpengaruh terhadap pemaknaan bagi orang yang melihatnya. Pemaknaan yang subjektif dan kaya pun akan muncul seiring dengan merebaknya fenomena-fenomena. Dalam hal ini, penggunaan jilbab,cadar dan kerudung oleh para tersangka wanita.

Beragam komentar dan pernyataan pun tidak bisa dihindari bermunculan. Pernyataan paling keras muncul dari Front Pembela Islam lewat kuasa hukumnya, Munarman. FPI memprotes keras para wanita yang tersangkut kasus hukum tiba-tiba menggunakan jilbab, khususnya pada kasus Neneng Sri Wahyuni. Bahkan FPI menganggap penggunaan jilbab oleh Neneng sebagai bentuk pelecehan terhadap jilbab.

Komentar lain datang dari Tutty Alawiyah yang mengemukakan bahwa pemakaian jilbab oleh para tersangka wanita adalah sebuah manipulasi, karena tersangka tiba-tiba menggunakan jilbab saat tertangkap, padahal sebelumnya tidak. Ia khawatir umat Islam dituding tidak baik terkait perilaku tersangka yang berujung merugikan muslimah dan umat Islam pada umumnya.

Seorang kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana bahkan menyebut fenomena penggunaan busana muslim ini sebagai sebuah sandiwara untuk mengundang simpati hakim agar mengurangi masa hukumannya. Di sisi lain, ia berpendapat bisa saja perubahan penampilan yang dilakukan semata-mata sebagai bentuk pertobatan. Tapi nyatanya, walaupun dia menggunakan pakaian selain jilbab, hal itu bukan merupakan pelecehan terhadap peradilan (contempt of court).

Pendapat berbeda diutarakan oleh KH. Said Aqil Siraj, beliau menyatakan bahwa penegak hukum tidak boleh tertipu oleh penampilan alim para tersangka, dan mereka harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Karena, menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, penggunaan jilbab atau cadar tidak berpengaruh baginya karena menurutnya – seraya mengutip hadits Nabi Muhammad Saw- iman itu terletak di hati, bukan di penampilan fisik.

Akan tetapi, Dirjen Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM, Sihabuddin berpendapat lain. Menurutnya, wajar saja para tersangka wanita menggunakan jilbab karena tidak ada undang-undang yang mengatur hal tersebut selama peradilan. “Yang pasti hanya harus sopan berperilaku saat sidang”, ujarnya. Menurutnya, jika para tersangka itu beragama Islam maka dianjurkan bagi mereka untuk berpakaian sopan dan menutup aurat.

Semua komentar di atas merupakan refleksi dari sebuah pemaknaan terhadap jilbab itu sendiri. Tapi alangkah lebih baiknya kita bisa untuk menjaga kesucian jilbab, kerudung dan cadar itu. Agar tidak tergeser dari nilai-nilai yang dibawa sejak awal pensyariatannya. Wallahu a’lam.

Jakarta, 25 April 2013
PasebanTengah, Kosan Bang Nasrul.


Jumat, 08 Maret 2013

Suatu Sore Dalam Sebuah Kantuk

Kamu adalah apa yang kamu pikirkan. Dirimu adalah apa yang kau lihat. Jiwamu adalah apa yang engkau dengar.



Sore itu sebenarnya saya sudah benar-benar kliyengan mendengarkan mata kuliah Media dan Pers Islam yang diajarkan Prof. Andi. Tapi saya maksa-maksain leher supaya tetap tegak. Selain karena alasan utama menghormati beliau, saya juga punya alasan lain. Sebab, saya duduk tepat di hadapan beliau.

Kuliah yang beliau sampaikan sebenarnya baik dan menarik bagi yang faham dunia media dan pers. Tapi sayang, saya anak bau kencur dalam dunia itu. Ibarat orang sudah berlari, saya masih ngesot.

Tapi satu hal yang membuat mata saya tiba-tiba segar. Yaitu saat beliau menelurkan istilah Opinion Leader yang dalam hal ini umumnya diwakili oleh media. Dalam hal ini, saya merasa agak nyambung-nyambung dikit.

Saya bukan pemerhati media apalagi kritikus. Saya hanya orang yang kadang menggerutu mendengar kabar baik yang sangat jarang datang dari Indonesia, atau kesal karena kuping saya selalu dijejali oleh ironi-ironi. Baik buruk, kaya miskin, lemah kuat, tampan jelek. Bagi saya, saya serius, istilah yang terakhir sangat menohok.

Media saat ini, disertai globalisasi yang ampun-ampunan, sangat memainkan peran penting dalam mind setting. Semua opini dibentuk dari media. Semua yang bisa lihat diluar pandangan mata, itu adalah permainan media. Hal yang kecil jadi besar, dan sebaliknya.

Opinion Leader menciptakan sebuah opini dari sebuah kejadian. Contoh simpelnya, kejadian yang sebenarnya biasa-biasa saja, bisa menjadi luar biasa dari sudut pandang pembuat opini ini. Begitupula sebaliknya, kejadian yang sebenarnya sangat luar biasa, bisa menjadi terendap, seperti tidak ada apa-apa. Diluar peran itu, opinion leader pula yang berhak untuk mewartakan apa yang pantas dan menarik untuk diberitakan dan apa yang tidak menarik dan tidak perlu.

Contoh paling dekat adalah berita tentang "penolakan" sejumlah rumah sakit kepada pasien kurang mampu. Saya yakin, hal ini tidak terjadi satu kali. Tapi banyak dan tersebar di mana-mana, sayangnya media cepat tenggelam dalam pemberitaannya, kalah oleh ramainya blantika politik Nusantara. Tapi begitu ada upaya blow up, entah sebagai upaya pengalihan isu, hal ini menjadi cetar membahana.

Begitu juga tentang maraknya tren berkerudung bagi siapapun yang sedang berurusan dengan hukum. Contohnya Afriyani, Nunung (istrinya Nazar, tersangka kasus korupsi dan suap) dan terakhir, Maharani yang dijumpai berkerudung dalam jumpa pers. Belum saya temukan media yang membahas secara khusus, mengapa wanita-wanita ini tiba-tiba "insaf".

Mungkin, bagi kita yang sadar. Kita masih bisa memfilternya. Menyaring dari apa yang kira-kira kurang tepat untuk diambil. Bukan saja untuk kita, tapi nanti untuk anak-anak kita.

Tapi barangkali, ada hal yang lebih penting dari sekedar memfilter opini. Yaitu menggali opini yang mungkin saja sengaja tidak diberitakan oleh opinion leader. Padahal, sejatinya hal itu penting untuk kita. Bukan saja dalam kontribusinya sebagai penyeimbang opini, tapi memperkaya khazanah pemikiran kita.

Tapi sekali lagi, saya bukan pemerhati media apalagi orang yang pandai menulis kritik tentang fenomena sosial ini. Saya hanya orang yang lebih sering menikmati dari jauh. Lebih sering menjadi outsider. Ya, kali ini saya benar-benar sedang ngeles.

Keinginan saya pun sama dengan rakyat-rakyat yang lain. Saya ingin sesekali mendengar berita yang melegakan, di sela-sela berita yang marak dan membuat sakit hati, juga sakit kuping. Ibaratnya, sebuah oase di tengah padang gurun.

Itulah kenyataan. Kenyataan yang harus saya, dan kita hadapi bersama-sama.

Senin, 07 Januari 2013

Antara Ngangkang, Blusukan dan Media Kita

Kita mudah sekali dibawa hanyut. Kita senang sekali bereuforia. Kita bangga dengan apa yang tidak kita punya. Kita marah ketika apa yang kita punya dan tidak kita jaga, dicuri orang. Kita dan kita, lalu kita...

Akhir-akhir ini beberapa berita datang menjejali televisi. Mereka berebutan menarik empati diantara beberapa tayangan selebriti yang kini mulai sepi. Mulai dari musibah tabrakan anak menteri, ngangkang di atas kendaraan, pemimpin tipikal blusukan dan film yang kontroversial.

Tayangan Selebriti
Tayangan selebriti tidak akan pernah menarik kalau tidak boombastis, fenomenal, di luar kebiasaan atau semacam anti-tabu. Bayangkan saja, berita tentang tabrakan atau perceraian tidak akan menyeruak kalau yang jadi pelaku adalah orang biasa. Beda hal kalau yang tersangkut adalah selebriti. Blow nya tidak akan ringan. Hal-hal privasi pun dilabrak. Publik figur kini seperti ruang tidak berdinding. Mudah sekali diambil informasi dari mereka. Kasian. Tentunya, cenayang-cenayang atau spekulan-spekulan pun mengambil kesempatan untuk mengait-ngaitkan suatu kasus ke hal-hal lain yang lebih bersifat privasi. Mereka pandai menerawang.
 
Musibah Tabrakan
Sepatutnya, tidak patut berkata siapa yang menabrak, dan siapa yang tertabrak. Tapi yang kita lakukan adalah menunjukkan sikap turut berduka bagi para keluarga korban dan terus mengawasi jalannya proses hukum. Tidak perlu berlebai-lebai. Dunia tidak akan pernah kekurangan berita.

Pemimpin Blusukan
Heran, entah latah atau memang lupa sejarah. Seorang pemimpin yang egaliter dan mudah turun ke jalan sepertinya sangat luar biasa sekali langka di bumi pertiwi ini. Sehingga, ada satu figur yang rajin seperti itu, hebohnya se-nusantara.

Tentunya kita pasti hafal nama presiden-presiden kita.
Bung Karno selalu blusukan ke daerah-daerah untuk menyatukan persepsi tentang persiapan kemerdekaan. Bahkan, sampai ke penjara-penjara.
Pak Harto juga sering blusukan ketika melakukan sosialisasi Repelita yang Fenomenal itu. Sampai sekarang, foto beliau berada di tengah sawah atau di atas perahu nelayan masih sering terlihat di almanak-almanak tahun 80an.
Pak Habibie, yang pernah menonton Habibie dan Ainun pasti turut mengangguk mengamini. Beliau dengan pesawatnya bekerja luar biasa ke mana-mana.
Gus Dur, sosok rendah hati, berani dan cerdas ini terkenal dekat dengan masyarakat. Khususnya Nahdliyyin.
Bu Mega, seperti bapaknya. Loyal pada negara.
SBY? Kita masih menyaksikannya sampai sekarang. Saya tidak berani banyak berkomentar. :D

Pak JK juga sering blusukan ketika terjadi tragedi aceh, kerusuhan di Maluku. Kita sebenarnya punya pemimpin yang luar biasa. Cuma kadang, dengan profil dan pembawaan yang berbeda. Tergantung dari kaca mata mana kita melihatnya.

Ngangkang di Negeriku
Nangroe itu artinya Negara. Sebuah negara tentunya mempunyai hukum dan tata tertibnya sendiri. Biarkan mereka memutuskan apa yang mereka rasa itu baik. Tidak ada hal yang patut didebatkan. Jangan mencampuri urusan negara orang lain.

HAM tidak akan pernah menolong orang yang diperkosa. HAM juga tidak akan pernah menyelamatkan korban teroris. HAM itu hanya diam. Yang harusnya bertindak adalah kita sendiri sebagai manusia. Tidak mau diperkosa ya jangan menggoda dengan rok mini. Tidak mau dibunuh ya jangan buat onar. Tidak mau dirampok ya banyak-banyak sedekah.

Lagi-lagi, Insepsi
Saya senang sekali dengan beberapa film yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio. Salah satunya adalah film Inception. Insepsi dalam film tersebut adalah sebuah upaya untuk memasukkan sebuah mind-setting berdesain luar biasa ke dalam otak manusia dengan cara tertentu, sehingga orang yang terinsepsi itu benar-benar mengikuti petunjuk yang sudah tertanam di pola pikirnya.

Canggih, dan luar biasa. Mungkin jarang film Tanah Air yang bisa mengikuti genre film macam itu. Film yang membuat berfikir.

Tapi pointnya bukan di film itu. Tapi pada insepsi itu sendiri. Bagaimana kita sekarang sudah menelan banyak sekali informasi-informasi yang diinsepsi ke dalam pola pikir kita sehingga merubah identitas kita pelan-pelan dan tidak ketahuan.

Tidak bisa dipungkiri, media adalah aktor utama untuk bisa memasukkan suatu mind-set ke dalam pola pikir kita. Tak heran, sekarang kata hedonis, pragmatis, skeptis sudah bukan tinggal kata-kata. Mereka masuk ke dalam tindak tanduk masyarakat kita. Negara pun acak kadut. Nilai religius kabur. Kita buta dan jalan di tempat.

Sudah sepatutnya kita menyaring media dan informasi-informasi yang masuk. Tidak perlu ditelan bulat-bulat juga tidak perlu lelah mencerna. Pilih saja, dari piring dan cangkir yang mana yang akan kita santap.



Bersyukur

Pernah memimpikan sesuatu yang niscayanya mustahil? Aku mengalami itu. Kamu juga. Mereka dan kita semua pasti pernah mengalaminya.

Tak ada kata yang bisa keluar selain bersyukur banyak-banyak dan beribadah kuat-kuat ketika mimpi-mimpi tersebut keluar dari alamnya. Menjadi kenyataan.

"Tak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Tuhan semesta alam."

Aku hanya ingin sangat berterimakasih kepada Abah, Mama, Hanum, jabang anakku, kakak-kakak, ipar-ipar, mas Nasrul, kang Dudi, bang Irfan Islami, Moen, ipar-ipar, Dr. Rully, Sp.OG, Dr. Suyatno, Sp.PD, Ipul, dan semua yang berperan besar.

Terimakasih, sekali lagi terimakasih.
Sekali lagi, tanpa orang lain di sekitarnya. Eksistensi seseorang takkan pernah ada.

Ini baru permulaan, kawan. Seperti yang mas Nasrul bilang, "Welcome to the Jungle!".
Doakan aku. Semoga aku kuat dan mampu. 

Rabu, 02 Januari 2013

Penyakit Menular

Suatu saat, sebuah kerajaan yang aman dan tentram di negeri antah berantah sontak ramai terdengar desas-desus bahwa salah satu anggota keluarga raja terkena penyakit kulit yang menular. Penyakit ini membuat kulit menjadi lebih putih, mulus dan mengkilap, tapi sangat mematikan. Umur penderitanya pun kadang tidak lebih dari empat bulan. Konon, penyakit ini adalah aib bagi penderitanya.

Bagai menahan asap terbang, kabar ini pun tak bisa ditutupi dari penciuman khalayak ramai. Punggawa-punggawa pembawa berita pun gembira, ada berita hangat bagi mereka. Penyakit Putri Raja. Berita ini berasal bukan dari orang biasa, maka sajiannya pun harus jangan biasa-biasa saja. Mereka memoles berita ini, ada yang khusus membahas penyakit ini. Sayangnya, kebanyakan tabib belum pernah menemui langsung penyakit ini. Beritapun kadang salah kaprah. 

Masyarakat geger, kerajaan gempar. Negara-negara tetangga pun mulai kasak-kusuk. Berusaha mencari antidot dari penyakit ini.

Bagi masyarakat luas, penyakit menular ini merupakan aib dan sesuatu yang harus dimusnahkan. Tapi bagi beberapa orang, penyakit ini adalah berkah! Berita ini adalah kabar gembira. Mereka menelan berita ini bukan sebagai duri, tapi madu yang harus dinikmati. Ya, mereka latah mencerna berita yang masuk lewat kedua telinga. Bagi mereka, menjadikan kulit putih, mulus dan menawan adalah idam-idaman sejak lama. Murah dan berefek cepat.

Di saat kerajaan berusaha menghilangkan penyakit ini, beberapa orang berusaha melestarikannya. Dengan tujuan pribadi tentunya. Ada yang berusaha sendiri, ada yang berkongsi dengan tabib istana. Semua usaha pun dilakukan, mulai dari menutup-nutupi keadaan penderitanya sampai berusaha membahas kepada khalayak kembali bahwa penyakit ini tidak berbahaya. Semuanya berusaha. Tujuannya tidak lain, kepuasan diri.

Walhasil, kerajaan pun sampai sekarang belum bisa menyembuhkan seluruh warga yang terjangkit. Karena sebagian warga malah membudidayakannya.

Sumber: http://images.kontan.co.id/main/kartun_benny/244

Korupsi

Korupsi, bagi umumnya masyarakat Indonesia pada tahun 90an merupakan barang asing di telinga mereka. Kata ini mendadak tenar bersama dua kata lainnya, kolusi dan nepotisme, ketika muncul pergerakan reformasi menurunkan Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Umumnya masyarakat Indonesia lebih  mengenal istilah anti mirasantika yang getol sekali dikampanyekan oleh raja Dangdut, Rhoma Irama. Tak ayal, setelah istilah Korupsi menyeruak, masyarakat pun ramai. Yang ada dipikiran sebagian orang dari mereka, korupsi adalah usaha untuk memperkaya diri dari cara yang tidak baik. Dalam kata lain, mencuri secara cerdas.

Media pun ikut mensosialisasikan kata ini lewat beberapa live talk atau talk show yang khusus membahas korupsi dan mengundang narasumber-narasumber yang kompeten.

Tapi, begitulah rakyat. Pemahaman mereka tidak bisa sejauh pemahaman para narasumber yang sudah pernah berulangkali naik pesawat itu. Pemahaman mereka hanya sebatas bagaimana cara agar mereka bisa menjamin hidup mereka hari ini dan besok. Walhasil, latah pun terjadi.

Korupsi yang awalnya diwartakan dengan tujuan untuk dihindari, pelan-pelan masuk terinsepsi ke dalam setiap mindset masyarakat kita. Lambat laun, mindset ini turut berkembang seiring perjalanan globalisasi yang kian deras. Salah kaprah pun menjadi salah sekali.

Fenomena inilah yang sekarang terjadi. Dari sebuah kasus menjadi banyak kasus. Seperti tidak Indonesia kalau tidak korupsi. Na’udzubillah.


Sekarang, sebagai generasi muda. Saatnya kita mulai untuk mengontrol kran masuknya globalisasi sekaligus melakukan self-rehealing untuk diri kita sendiri. Brainwashing untuk mindset korupsi memang harus kita lakukan. Kata korupsi harus benar-benar kita hapus dan kita lupakan. Jangan sampai sekalipun terbersit keinginan mencoba atau mencicipi. Mari, kita mulai dari diri kita sendiri.

Selasa, 01 Januari 2013

Memutuskan Menikah

Tidak sedikit dari kawan-kawan yang terkaget-kaget mendengar keputusan saya menikah muda. Ya, itulah jalan yang harus saya ambil dan kini saya benar-benar menikmatinya.

Keputusan yang mungkin bagi sebagian orang adalah jalan terbaik, dan bagi segelintir lain adalah sebuah kekonyolan. Tanpa modal, tanpa pekerjaan, tanpa pacaran yang lama dan tanpa perencanaan!

Menjadi seorang suami muda dan sekaligus seorang bapak adalah masa depan setiap pria. Hampir semua lelaki yang mengaku dirinya adalah pejantan sejati selalu ingin mengakhiri haluannya pada tujuan yang sama, menjadi seorang suami sah dan seorang bapak dari benihnya sendiri.

Itu pula yang kini, kira-kira, sedang saya praktikkan dalam kehidupan saya. Mungkin bagi saya, kejadian tahun 2012 kemarin adalah sebuah tikungan besar dalam kehidupan saya. Benar-benar berubah total.

Beberapa hal yang membuat saya memutuskan menikah:
a. Menghindari fitnah
b. Menjauhi maksiat
c. Saya sangat menghormati, menyayangi dan mencintai calon istri saya.

Hanya dengan modal dengkul, dan beberapa perak di tabungan. Saya bisa meyakinkan keluarga saya dan keluarganya untuk memberikan restu dan izin. Ya, seperti yang sudah saya katakan. Seorang laki-laki harus bisa belajar menjadi jembatan antara dua keluarga. Membangun sebuah komunikasi yang baik, dan bisa memutuskan sebuah pilihan yang memuaskan kedua belah pihak. Juga banyak-banyak sabar.

Sabar? Sabar adalah kunci kuat dalam menjalin sebuah hubungan. Apalagi hubungan serius.

Istri saya adalah bungsu dari 9 bersaudara. Tanpa orangtua. Ayahnya meninggal ketika umurnya masih 8 bulan dan ibunya juga pergi saat umurnya 16 tahun.

Bisa dibayangkan, bagaimana saya harus melakukan lobi-lobi kuat dengan proposal nikah kepada delapan kepala dengan pandangan dan pemikiran yang beragam. Ada yang galak, nyablak, kalem sampai yang pembawaannya sangat dingin. Tapi, saya berhasil melewati semua level itu. Caranya? Ya, sabar.

Pertemuan kami tidak lama, saya ingat betul tanggal 1 Januari 2012 awal perjumpaan kami secara langsung. Sebelumnya kami hanya bisa berkomunikasi lewat internet dan beberapa social media yang ada. Intensitas perjumpaan saat itu juga hanya sebisanya saja. Tidak terlalu sering.

Januari = Awal bertemu
Februari, Maret, April = LDR
April = Lamaran
Mei = LDR dan persiapan
Juni = Menikah. Cepat bukan?
 
Mengapa bisa timbul cinta?

Bagi saya, dan sesuai apa yang saya rasa, cinta adalah reaksi dari beberapa akumulasi seperti kasih sayang, empati, simpati dan takdir. Saya pernah menaruh perhatian kepada beberapa wanita. Tapi, seperti magnit. Kalau kedua kutub tidak bisa saling tarik-menarik, maka tidak akan muncul daya. Ya, seperti cerita gayung tidak bersambut, tidak dapat restu atau tidak cocok. Semacam roman bernuansa kegalauan yang sepertinya harus dilalui setiap orang yang akan memulai hubungan serius. Tapi, selebihnya saya lebih percaya, faktor takdir sangat berperan di sini.

"Saya yakin, siapa pun yang bersanding bersama saya. Bagi saya, darinya saya berlabuh dan padanya saya pulang."

Selanjutnya, mungkin akan saya lanjutkan lain waktu.