Kamis, 25 April 2013

Semiotika Jilbab


Pagi buta, selepas kehebohan orang-orang yang berhamburan terkocar-kacir. Keluar dari sebuah Xenia, seorang wanita gemuk paruh baya berkerudung. Wajahnya menampakkan kebingungan. Wajar saja, korban-korban yang ditabraknya bergelimpangan tak berdaya di bahu jalan. Tepat di depan halte Tugu Tani.

Pagi itu bagaikan sebuah mimpi buruk bagi seorang Afriyani.Dia tidak menyangka, pagi itu harus langsung berurusan dengan keramaian. Kerudung,wajah murung dan kepala tertunduk.
Afriyani Susanti, tersangka kasus tabrakan di Halte Tugu Tani

Neneng Sri Wahyuni, tersangka kasus korupsi yang juga istri mantan Bendum Partai Demokrat, Nazaruddin


Di tempat dan waktu yang berbeda. Seorang wanita bercadar terduduk di tengah sebuah ruangan. Di hadapannya tiga orang duduk menatapnya tajam. Di sebelah kirinya, tampak seorang jaksa penuntut umum membacakan tuntutan-tuntutan yang berlembar-lembar. Bahkan, ratusan halaman.

Neneng Sri Wahyuni tidak menyangka dirinya bakal duduk sebagai pesakitan, padahal sebelumnya menikmati kehidupan bebas nan menyenangkan. Perubahan begitu cepat, begitupula perubahan dalam penampilannya. Sebelumnya, dia tidak mengenakan kerudung. Tapi kini, cadar lengkap yang menutupi wajahnya. Wartawan yang hadir mengabadikan cadar, mata sendu dan kepala yang juga tertunduk.


Kerudung, cadar dan jilbab pada dasarnya adalah pakaian yang diperintahkan Allah untuk digunakan oleh perempuan. Tujuannya adalah untuk menutupi aurat dan menundukkan pandangan para pria. Tapi seiring perkembangan zaman, kerudung bisa menjadi pakaian yang serba guna. Salah satunya memunculkan simpati dan simbol pertaubatan.

Branston dan Stafford, dalam buku mereka yang berjudul "The Media Student's Book, menuturkan betapa simbol-simbol baik berupa kata-kata, gambar dan gestur sangat berpengaruh terhadap pemaknaan bagi orang yang melihatnya. Pemaknaan yang subjektif dan kaya pun akan muncul seiring dengan merebaknya fenomena-fenomena. Dalam hal ini, penggunaan jilbab,cadar dan kerudung oleh para tersangka wanita.

Beragam komentar dan pernyataan pun tidak bisa dihindari bermunculan. Pernyataan paling keras muncul dari Front Pembela Islam lewat kuasa hukumnya, Munarman. FPI memprotes keras para wanita yang tersangkut kasus hukum tiba-tiba menggunakan jilbab, khususnya pada kasus Neneng Sri Wahyuni. Bahkan FPI menganggap penggunaan jilbab oleh Neneng sebagai bentuk pelecehan terhadap jilbab.

Komentar lain datang dari Tutty Alawiyah yang mengemukakan bahwa pemakaian jilbab oleh para tersangka wanita adalah sebuah manipulasi, karena tersangka tiba-tiba menggunakan jilbab saat tertangkap, padahal sebelumnya tidak. Ia khawatir umat Islam dituding tidak baik terkait perilaku tersangka yang berujung merugikan muslimah dan umat Islam pada umumnya.

Seorang kriminolog Universitas Indonesia, Erlangga Masdiana bahkan menyebut fenomena penggunaan busana muslim ini sebagai sebuah sandiwara untuk mengundang simpati hakim agar mengurangi masa hukumannya. Di sisi lain, ia berpendapat bisa saja perubahan penampilan yang dilakukan semata-mata sebagai bentuk pertobatan. Tapi nyatanya, walaupun dia menggunakan pakaian selain jilbab, hal itu bukan merupakan pelecehan terhadap peradilan (contempt of court).

Pendapat berbeda diutarakan oleh KH. Said Aqil Siraj, beliau menyatakan bahwa penegak hukum tidak boleh tertipu oleh penampilan alim para tersangka, dan mereka harus dihukum sesuai dengan kesalahannya. Karena, menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, penggunaan jilbab atau cadar tidak berpengaruh baginya karena menurutnya – seraya mengutip hadits Nabi Muhammad Saw- iman itu terletak di hati, bukan di penampilan fisik.

Akan tetapi, Dirjen Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan HAM, Sihabuddin berpendapat lain. Menurutnya, wajar saja para tersangka wanita menggunakan jilbab karena tidak ada undang-undang yang mengatur hal tersebut selama peradilan. “Yang pasti hanya harus sopan berperilaku saat sidang”, ujarnya. Menurutnya, jika para tersangka itu beragama Islam maka dianjurkan bagi mereka untuk berpakaian sopan dan menutup aurat.

Semua komentar di atas merupakan refleksi dari sebuah pemaknaan terhadap jilbab itu sendiri. Tapi alangkah lebih baiknya kita bisa untuk menjaga kesucian jilbab, kerudung dan cadar itu. Agar tidak tergeser dari nilai-nilai yang dibawa sejak awal pensyariatannya. Wallahu a’lam.

Jakarta, 25 April 2013
PasebanTengah, Kosan Bang Nasrul.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar