Jumat, 08 Maret 2013

Suatu Sore Dalam Sebuah Kantuk

Kamu adalah apa yang kamu pikirkan. Dirimu adalah apa yang kau lihat. Jiwamu adalah apa yang engkau dengar.



Sore itu sebenarnya saya sudah benar-benar kliyengan mendengarkan mata kuliah Media dan Pers Islam yang diajarkan Prof. Andi. Tapi saya maksa-maksain leher supaya tetap tegak. Selain karena alasan utama menghormati beliau, saya juga punya alasan lain. Sebab, saya duduk tepat di hadapan beliau.

Kuliah yang beliau sampaikan sebenarnya baik dan menarik bagi yang faham dunia media dan pers. Tapi sayang, saya anak bau kencur dalam dunia itu. Ibarat orang sudah berlari, saya masih ngesot.

Tapi satu hal yang membuat mata saya tiba-tiba segar. Yaitu saat beliau menelurkan istilah Opinion Leader yang dalam hal ini umumnya diwakili oleh media. Dalam hal ini, saya merasa agak nyambung-nyambung dikit.

Saya bukan pemerhati media apalagi kritikus. Saya hanya orang yang kadang menggerutu mendengar kabar baik yang sangat jarang datang dari Indonesia, atau kesal karena kuping saya selalu dijejali oleh ironi-ironi. Baik buruk, kaya miskin, lemah kuat, tampan jelek. Bagi saya, saya serius, istilah yang terakhir sangat menohok.

Media saat ini, disertai globalisasi yang ampun-ampunan, sangat memainkan peran penting dalam mind setting. Semua opini dibentuk dari media. Semua yang bisa lihat diluar pandangan mata, itu adalah permainan media. Hal yang kecil jadi besar, dan sebaliknya.

Opinion Leader menciptakan sebuah opini dari sebuah kejadian. Contoh simpelnya, kejadian yang sebenarnya biasa-biasa saja, bisa menjadi luar biasa dari sudut pandang pembuat opini ini. Begitupula sebaliknya, kejadian yang sebenarnya sangat luar biasa, bisa menjadi terendap, seperti tidak ada apa-apa. Diluar peran itu, opinion leader pula yang berhak untuk mewartakan apa yang pantas dan menarik untuk diberitakan dan apa yang tidak menarik dan tidak perlu.

Contoh paling dekat adalah berita tentang "penolakan" sejumlah rumah sakit kepada pasien kurang mampu. Saya yakin, hal ini tidak terjadi satu kali. Tapi banyak dan tersebar di mana-mana, sayangnya media cepat tenggelam dalam pemberitaannya, kalah oleh ramainya blantika politik Nusantara. Tapi begitu ada upaya blow up, entah sebagai upaya pengalihan isu, hal ini menjadi cetar membahana.

Begitu juga tentang maraknya tren berkerudung bagi siapapun yang sedang berurusan dengan hukum. Contohnya Afriyani, Nunung (istrinya Nazar, tersangka kasus korupsi dan suap) dan terakhir, Maharani yang dijumpai berkerudung dalam jumpa pers. Belum saya temukan media yang membahas secara khusus, mengapa wanita-wanita ini tiba-tiba "insaf".

Mungkin, bagi kita yang sadar. Kita masih bisa memfilternya. Menyaring dari apa yang kira-kira kurang tepat untuk diambil. Bukan saja untuk kita, tapi nanti untuk anak-anak kita.

Tapi barangkali, ada hal yang lebih penting dari sekedar memfilter opini. Yaitu menggali opini yang mungkin saja sengaja tidak diberitakan oleh opinion leader. Padahal, sejatinya hal itu penting untuk kita. Bukan saja dalam kontribusinya sebagai penyeimbang opini, tapi memperkaya khazanah pemikiran kita.

Tapi sekali lagi, saya bukan pemerhati media apalagi orang yang pandai menulis kritik tentang fenomena sosial ini. Saya hanya orang yang lebih sering menikmati dari jauh. Lebih sering menjadi outsider. Ya, kali ini saya benar-benar sedang ngeles.

Keinginan saya pun sama dengan rakyat-rakyat yang lain. Saya ingin sesekali mendengar berita yang melegakan, di sela-sela berita yang marak dan membuat sakit hati, juga sakit kuping. Ibaratnya, sebuah oase di tengah padang gurun.

Itulah kenyataan. Kenyataan yang harus saya, dan kita hadapi bersama-sama.