Senin, 31 Desember 2012

Ketika Aku ingin Benar-benar menjadi Lelaki

Aku sudah terlalu sering menjual roman. Beribu-ribu bunga keluar dari mulutku yang berbuih. Tapi, aku belum benar-benar menjadi seorang lelaki sebelum menikahimu.

Romansa asmara anak muda. Elegi ditinggalkan. Peliknya perselingkuhan. Dilema dua hati. Pahitnya kegalauan. Merupakan sebuah kenyataan bagi mereka. Sebuah kehidupan yang harus dijalani. Semua niscaya yang bisa memberatkan hidup atau menurunkan timbangan badan.
Kutunggu Undanganmu

Ya, putus cinta, kasmaran, pengharapan. Semuanya adalah kisah yang lebih mewarnai lembaran hidup anak tujuhbelasan ke atas. Tapi sesungguhnya apa yang mereka tangisi saat itu bukanlah hal yang seharusnya dibuat merana. Itu cuma bumbu, kawan! Sekali lagi, aku katakan, itu bumbu.

Hidup nyatamu adalah keluargamu. Bagaimana kau membangun sebuah pondasi berdua. Mengisi pundi-pundi dompet untuk hidup kalian berdua. Perjuangan mendapatkan restu. Perjuangan saling menghargai. Perjuangan untuk menjadi imam yang baik, sekaligus kawan di saat suka dan duka.

Kawan, gombalanmu lebih berarti saat kau berusaha menenangkan dirinya yang gelisah ketika penyakit malaria yang menyeramkan menyerangnya, sedangkan usia kandungan anak kalian baru berumur 4 bulan.

Nikmatilah romansa kalian. Lalu jalani hidup kalian. Jadilah lelaki sejati.

Lelaki adalah seseorang yang bisa menjadi jembatan di antara dua keluarga dengan pondasi tanggung jawab di satu sisi, dan cinta di sisi yang lainnya.

Bakar Uang

Mereka membakar uang mereka. Menerbangkannya ke udara. Lalu bersorak gempita. Mereka girang sekali.

Aku baru mengerti sekarang, mengapa dulu ayahku enggan ketika diajak menikmati malam tahun baru di alun-alun (di sini kami menyebutnya bundaran) kota. Jawaban beliau hanya gelengan, lalu tersenyum.

Aku selalu mencerna apa yang ada di dalam otak-otak orang-orang itu Mereka membeli petasan, kembang api, mercon dengan uang mereka lalu membakarnya. Bersorak gembira.
Ah, hiburan...

Hiburan, ya, apalagi yang dicari manusia selain hiburan. Tapi apa motifnya?
Bertambahnya tahun dan berkurangnya umur kah yang sedang mereka rayakan sekarang?
Atau, mitos kiamat 21-12-2012 yang ternyata sampai sekarang tidak terbukti?
Atau mereka melampiaskan keluh kesah selama tahun 2012 dengan menyalakan dentuman-dentuman yang kali ini harus kusebut sangat mengganggu?
Atau, sekedar mengajak orang yang sudah mulai larut dalam buaian untuk ikut merayakan dengan membangunkan mereka tidur?

Aku heran dengan perilaku latah ini.

Cukuplah dengan refleksi-refleksi ringan, menikmati liburan dengan berkumpul keluarga makan-makan atau dengan hal-hal yang lebih berguna dan MASUK AKAL.

Uang itu terbang. Tidak! Uang itu menyala, tinggi, berdentum, lalu pecah dan di bawahnya orang-orang bertepuk tangan sementara di sisi lain, orang-orang di pinggiran kedinginan dan kelaparan. Mereka lebih butuh uang daripada api.


Jumat, 28 Desember 2012

Ada Sebuah Tayangan

Jawab-menjawabi

Nyinyir dan menyimak

"Mereka mendebatkan sesuatu yang mereka sendirilah pembuatnya"

Catatan Akhir Desember

Sejauh apapun kau lari, aku akan hadir.
Pasti ada saat-saat yang enggan engkau tinggalkan dalam bingkai kenangan. Saat-saat itulah yang selalu ingin engkau ulang.


Entah, berapa desember-kah sudah aku sadari dan jalani dalam dua puluh lima umurku. Semua desember itu lesu, tanpa resolusi yang jelas dan pasti. Tidak ada acara hitung-menghitung program apa saja yang sudah tercapai, tidak ada pula evaluasi. Bagi pribadiku yang semrawut ini, aku selalu mengerjakan apa yang ada di depanku tanpa menunggu desember datang. 

Tapi, tahun ini kujalani dengan beberapa hal yang mengejutkan dan revolusioner. Hidupku  nyari berubah. Haluanku berpaling. Aku kelabakan.

Sms masuk, dari Mama. "Terimakasih doa nakda, mudah-mudahan anakda selalu sabar menjalani hidup ini. Doa mama selalu mengiringi kalian. Amin"

Aih, lagi-lagi...

Tahun ini hidupku memang harus luar biasa sabar. Harus benar-benar batu. Harus benar-benar keras. Banyak hal-hal yang tidak terproyeksikan bisa terealisasi. Banyak pula hal-hal yang memaksaku berubah. Aku kelimpungan menyesuaikan masing-masing peran yang harus kujalani. Belum lagi skenario Tuhan yang kadang tidak tertebak. Semuanya komplit! Kompleks!

Kali ini, biar aku melepas kacamata. Memejamkan mata. Menghirup udara dalam-dalam. 

1. Apakah aku masih hidup selepas Desember ini?
2. Apa bekal yang sudah kupersiapkan ketika nafasku nanti ditarik tiba-tiba?
3. Masih berjumpakah kita tahun berikutnya?
4. Masihkah persahabatan ini terjalin? Masihkah kasih ini tersalurkan?
5. Sudah sebaik apa aku berbuat?

Kalau perjumpaan nantinya tertunda. Kenanglah, bahwa aku pernah hadir. Paling tidak, aku pernah menuliskan namamu di sini.



Kamis, 15 November 2012

Filosofi Opportunity


Dalam kumpulan huruf kita mengenal huruf o. Huruf berbentuk bundar ini menggambarkan kesinambungan dan perputaran dinamis. Tiada yg stagnan. Setiap kesulitan ada kemudahan.

Dalam bahasa Inggris, kesempatan diwakili oleh opportunity. Huruf o dalam kata ini bisa kita resapi dalam perputaran waktu.

Waktu terbagi menjadi tiga: Kemarin, Hari ini dan Besok.
Waktu itu bisa menelanmu, pelan-pelan.

Kemarin - Yesterday: tidak ada huruf o, tidak ada opportunity. Lan tarji'al ayyamu allati madhat. Takkan kembali kesempatan yg sudah berlalu.

Hari ini - Today: ada satu huruf o. Pergunakanlah sebaik-baiknya, sebelum hilang.

Besok - Tomorrow: ada tiga huruf o. Masih banyak kesempatan, persiapkanlah baik-baik.

Sebagai renungan: "Wahai orang-orang yg beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yg telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha teliti terhadap apa yg kamu kerjakan" (al-Hasyr: 19)

"Dan janganlah sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu,"aku pasti melakukan itu besok," kecuali dengan mengatakan "Insya Allah" (al-Kahfi: 23-24)

Kamis, 01 November 2012

Please, pay attention to me!


Kalau kau ingin pintar, mengajarlah...
Kalimat tersebut terngiang-ngiang hebat di kepala. Betapa tidak, bagaimana mungkin seseorang bisa pintar dengan mengajar. Bukankah faaqidu as-syai la yu’thi? Itulah yang terus bergema di dalam otakku.
Orang yang tidak mempunyai apa-apa tidak akan pernah bisa memberikan apa-apa. Ibarat ingin melempar manggis, batu di tangan tidak terbang. Nihil. Aku penasaran dengan mutiara yang ada di balik ungkapan yang selalu didengungkan oleh guruku, selain ungkapan Man Jadda Wajada yang sekarang terkenal itu.
Guruku, di balik penampilan fisiknya yang sederhana, seorang yang hebatnya luar biasa. Kalau kau berjumpa dengannya, kau sama sekali tak akan menemukan alasan untuk bisa kagum padanya. Dengan ukuran tinggi yang di bawah ideal bagi seorang laki-laki, tak ada hal yang membuat dirinya bisa direndahkan. Kalau sudah bicara, ceplas-ceplosnya keluar dalam bahasa asing yang -menurutku, sekali lagi, ini menurutku- mungkin hanya bule-bule Inggris dan taipan-taipan Arab yang mengerti. Suaranya tinggi. Kalau sedang mengajar di depan kelas, dia sering sekali ditemukan dalam keadaan mata terbelalak, berdiri berjingkat dan berteriak “Plis, pey etensyen tu mi!” kira-kira, itu yang bisa telingaku tangkap saat itu.
Ternyata, profesi guru tidak semua orang bisa mengerti. Tidak semua orang bisa. Dan tidak semua yang memahami betul-betul seluk beluknya. Menjadi guru, bukan berarti kita tidak belajar. Menjadi guru tertuntut harus lebih tahu, harus lebih mengerti dan tentunya harus lebih hebat dari murid-muridnya. Menjadi guru itu mudah-mudah sulit.
Menjadi guru tidak hanya mengerti bahasa buku, menjadi guru harus mengerti bahasa wajah, bahasa mata dan bahasa tangis. Menjadi guru,  merangkap figur guidance and counseling sekaligus pengajar yang gigih. Menjadi guru adalah menjadi figur yang luar biasa. Aku yakin, superhero dan manusia super bagi Albert Einstein adalah gurunya sendiri.
Kalau kau pernah baca dua novel dari dua orang murid guru-guru hebat kau pasti sadar betul pentingnya figur guru dalam kehidupan umat manusia. Nabi Musa As saja berguru dengan Nabi Khidir As. Nabi Muhammad SAW yang kita junjung sangat tinggi itu pun berguru dengan Jibril As. Tak ada yang aneh dengan status guru dan murid. Kedua-duanya sama mulia, hanya guru lebih mulia sedikit di atasnya.
Dalam novel Laskar Pelangi yang fenomenal kau pasti menemukan sosok Bu Muslimah dan Pak Harfan. Ikhlas dan rela menolong anak pelosok Belitong belajar hingga mereka mengenal alfabet lebih dari mengenal nama mereka sendiri. Lihatlah keringat Bu Muslimah. Keringat itu, keringat asam seorang guru. Beliau lebih pintar dari muridnya, dan itu harus. Agar muridnya pintar pula seperti beliau, lalu menjadi lebih pintar lagi nantinya. Semacam investasi ilmiah.
Kau lihat pula Ustadz Salman, tokoh inspirator sekaligus motivator dalam novel yang tak kalah fenomenal, Negeri 5 Menara. Usahanya selain mengajar di kelas. Dia rajin pula memonitor murid-muridnya di asrama. Tidak hanya di kelas, totalitas pendidikan, itu guruku menyebutnya. Twenty-hours Guidancing.
Ya, akhirnya aku sadar. Menjadi guru, harus lebih tahu. Menjadi guru adalah menjadi insan kamil yang aktif dan tidak pasif. Tidak menunggu, tidak berdiam, selalu gerak. Suka membaca. Gemar berkreasi. Murah senyum dan tentunya sehat jasmani dan rohani.

Kyaiku pernah berkata dengan tegas, “Kalau tidak menjadi lebih baik, lebih baik kau tidak usah lahir dan aku tidak harus mati. Hanya nambah jatah beras saja.”
Bukan omong kosong bahwa kalau ingin pintar, harus menjadi guru. Karena tidak ada di muka bumi ini guru yang bodoh. Yang ada hanyalah guru yang malas, pasif dan pragmatis. Na’udzubillah min dzalik.

Selasa, 23 Oktober 2012

Cadel

Masih lumayan sulit untuk berujar lancar. Aku terus berusaha, tidak sekali saja. Aku pernah menjalani masa-masa seperti saat ini. Aku yakin, kalimat pertamaku nanti bukan ba-bi-bu saja. Aku ingin mengucapkan hore! sekaligus.

Aku percaya, lidah ini harus sering digerakkan agar lancar berujar. Aku rindu celotehan-celotehan lucu, kadang gumaman amarah, atau bahkan sekedar dendangan dengung tak jelas tentang sebuah lagu. Aku rindu pengungkapan perasaan lewat suara itu. Aku ingin seperti itu.

Lidah ini akan terus ku latiih sampai terlipat. Telinga ini pula tak akan aku tutup dari suara apapun, walau sampai suara kentut sekalipun.

Doakan aku, kawan. Sampai nanti aku bisa, menyuarakan apa yang aku baca dari tatapan matamu. :)

Film: Dredd 2012

Kesuntukan itu berhasil membawaku dan istriku berlabuh di sebuah gedung yang di sini sering disebut mall. Di jalan aku memutuskan untuk menonton saja. Sudah lama tidak menghabiskan waktu berdua dengan istri.

Setiba di bioskop, kegamangan muncul lagi. Film apakah yang akan kami tonton? Setelah proses yang dipersingkat, walhasil lewat rekomendasi teman, kami memutuskan menonton film Dredd 2012 dengan subjudul Judgement Is Coming.

Perkiraanku sebelumnya, studio akan langsung penuh. Tapi kebanyakan penonton datang di tengah acara. Aku pikir, mereka adalah pasangan-pasangan abege yang terjebak di studio dan bingung menonton apa, akhirnya memutuskan menonton film ini.

Awal cerita, tidak ada yang trengginas seperti yang terlukis di iklan. Mungkin karena aku belum pernah menonton film berjudul yang sama sebelumnya. Aku hanya meraba-raba, mencoba untuk tidak melewatkan adegan-adegan kunci dalam film ini. Tapi aku kecele, film ini terlalu simpel.

Bersetting di tahun antah berantah, film ini menggambarkan situasi dunia yang kian mundur seiring majunya zaman. Alkisah di sebuah wilayah bernama Mega City One terdapat beberapa gerombolan pengacau keamanan. Seperti biasa dalam film-film superhero, ada musuh, ada jagoan dan ada kasus. Kali ini yang menjadi musuh besar adalah seorang wanita ganas yang biasa dipanggil Ma-Ma. Beliauwati terkenal kejam, juga licik. Kasus besarnya selain pembunuhan adalah pembuatan obat-obatan terlarang yang disebut Slow-Mo.

Jagoan kali ini ditokohkan pada Dredd, hakim senior. Dan Anderson, hakim junior yang cantik dan ajaib.

Overall, seperti pertunjukan biasa. Kami tidak dipaksa terlalu banyak berfikir. Hanya duduk, dan menikmati sajian-sajian aksi dari layar. Tidak ada hal yang menonjol selain kemampuan Karl Urban memerankan Dredd yang tak pernah dibuka helmnya.

Dari awal sajian, kami terus dibayangi oleh film The Raid: Redemption. Semuanya hampir sama. Plot, scene, dan setting lokasi. Seperti game arcade di mana musuh besar selalu berada di akhir cerita. Clue-clue cerita pun bertebaran di mana-mana. Aku pikir, Pete Travis sudah malas bekerja keras mencari plot yang rumit. Dia hanya ingin menyajikan efek-efek grafis dan darah.

Jangan harap pula bisa menyaksikan aksi laga bak Iko Uwais dalam film ini. Dalam segi aksi laga, film ini minim sekali. Yang banyak hanyalah adegan hide and seek.



Tapi, jujur. Selepas pulang dari bioskop. Mau tidak mau aku merasa terinspirasi cara Judge Dredd mengendarai motornya yang cool. Cuma itu saja.

Warung Kopi

"Mari, silakan duduk.."
Sebuah adegan pembuka yang hangat. Lambat laun para pemirsa, termasuk aku mulai menikmati sajian hiburan ini. Cukup murah. Hanya dengan membeli secangkir kopi susu dan beberapa potong gorengan. Aku bisa menjumpai ensiklopedia raksasa di muka bumi. Segala ada di sini. Tidak perlu repot-repot berdasi, tidak perlu pula mengenakan pita tanda pengenal. Hanya duduk saja, dengar dan perhatikan.

Mungkin aku biasa menyaksikan acara para Lawyer yang tersohor itu. Yang di dalamnya orang-orang berdasi, berbatik serta mengenakan pita khusus duduk di sebuah meja bundar. Bergiliran mereka bicara, digilir pula mic- di meja-meja. Ada yang pitam, ada yang kalem. Tapi terlalu tegang. Keningku pegal karena sering berkerut.

Tapi di sini, di warung kopi ini. Semuanya hangat. Bisa jadi tegang sejenak, tapi setelah seruputan kopi mencapai ampasnya. Semuanya hangat lagi. Sesekali asap flamboyan dari rokok-rokok dua belas ribuan ikut berhembus dengan isu-isu. Seru, aku  pun asyik masyuk. 

Kamu ingin membahas selebriti, kawan? Ada di sini. Mereka tak kalah dari ibu-ibu yang biasa berkerumun di gerobak tukang sayur. Ayo, apa lagi? Membahas ekonomi, politik, sejarah, kebudayaan, reliji, hiburan, musik, sampai hal terkecil seperti (susah kentut) pun di bahas di sini. 

Seperti kopi. Kamu hanya perlu menyeruput kopinya saja, tak perlu ampasnya. Di warung kopi pun, kamu hanya perlu mengambil positifnya. Yang buruk-buruk. Tinggalkan. Bikin penyakit!

Semacam Perkenalan

Kita sebenarnya sudah saling mengenal lama. Namamu sering aku eja. Namaku pun dalam mimpi sering engkau bawa. Masing-masing dari kita punya panggilan mesra. Mata.

Aku suka tatapan nanarmu. Aku paham kalau kamu belum mengerti. Atau mungkin kamu sudah mengerti, tapi tidak mau tahu. Aku mengerti.

Begitupun juga, kamu suka menatap mataku. Kamu bilang, kamu bisa melihat kejujuran di sana. Tapi, kupikir kamu hanya melihat bayanganmu di situ.