Senin, 07 Januari 2013

Antara Ngangkang, Blusukan dan Media Kita

Kita mudah sekali dibawa hanyut. Kita senang sekali bereuforia. Kita bangga dengan apa yang tidak kita punya. Kita marah ketika apa yang kita punya dan tidak kita jaga, dicuri orang. Kita dan kita, lalu kita...

Akhir-akhir ini beberapa berita datang menjejali televisi. Mereka berebutan menarik empati diantara beberapa tayangan selebriti yang kini mulai sepi. Mulai dari musibah tabrakan anak menteri, ngangkang di atas kendaraan, pemimpin tipikal blusukan dan film yang kontroversial.

Tayangan Selebriti
Tayangan selebriti tidak akan pernah menarik kalau tidak boombastis, fenomenal, di luar kebiasaan atau semacam anti-tabu. Bayangkan saja, berita tentang tabrakan atau perceraian tidak akan menyeruak kalau yang jadi pelaku adalah orang biasa. Beda hal kalau yang tersangkut adalah selebriti. Blow nya tidak akan ringan. Hal-hal privasi pun dilabrak. Publik figur kini seperti ruang tidak berdinding. Mudah sekali diambil informasi dari mereka. Kasian. Tentunya, cenayang-cenayang atau spekulan-spekulan pun mengambil kesempatan untuk mengait-ngaitkan suatu kasus ke hal-hal lain yang lebih bersifat privasi. Mereka pandai menerawang.
 
Musibah Tabrakan
Sepatutnya, tidak patut berkata siapa yang menabrak, dan siapa yang tertabrak. Tapi yang kita lakukan adalah menunjukkan sikap turut berduka bagi para keluarga korban dan terus mengawasi jalannya proses hukum. Tidak perlu berlebai-lebai. Dunia tidak akan pernah kekurangan berita.

Pemimpin Blusukan
Heran, entah latah atau memang lupa sejarah. Seorang pemimpin yang egaliter dan mudah turun ke jalan sepertinya sangat luar biasa sekali langka di bumi pertiwi ini. Sehingga, ada satu figur yang rajin seperti itu, hebohnya se-nusantara.

Tentunya kita pasti hafal nama presiden-presiden kita.
Bung Karno selalu blusukan ke daerah-daerah untuk menyatukan persepsi tentang persiapan kemerdekaan. Bahkan, sampai ke penjara-penjara.
Pak Harto juga sering blusukan ketika melakukan sosialisasi Repelita yang Fenomenal itu. Sampai sekarang, foto beliau berada di tengah sawah atau di atas perahu nelayan masih sering terlihat di almanak-almanak tahun 80an.
Pak Habibie, yang pernah menonton Habibie dan Ainun pasti turut mengangguk mengamini. Beliau dengan pesawatnya bekerja luar biasa ke mana-mana.
Gus Dur, sosok rendah hati, berani dan cerdas ini terkenal dekat dengan masyarakat. Khususnya Nahdliyyin.
Bu Mega, seperti bapaknya. Loyal pada negara.
SBY? Kita masih menyaksikannya sampai sekarang. Saya tidak berani banyak berkomentar. :D

Pak JK juga sering blusukan ketika terjadi tragedi aceh, kerusuhan di Maluku. Kita sebenarnya punya pemimpin yang luar biasa. Cuma kadang, dengan profil dan pembawaan yang berbeda. Tergantung dari kaca mata mana kita melihatnya.

Ngangkang di Negeriku
Nangroe itu artinya Negara. Sebuah negara tentunya mempunyai hukum dan tata tertibnya sendiri. Biarkan mereka memutuskan apa yang mereka rasa itu baik. Tidak ada hal yang patut didebatkan. Jangan mencampuri urusan negara orang lain.

HAM tidak akan pernah menolong orang yang diperkosa. HAM juga tidak akan pernah menyelamatkan korban teroris. HAM itu hanya diam. Yang harusnya bertindak adalah kita sendiri sebagai manusia. Tidak mau diperkosa ya jangan menggoda dengan rok mini. Tidak mau dibunuh ya jangan buat onar. Tidak mau dirampok ya banyak-banyak sedekah.

Lagi-lagi, Insepsi
Saya senang sekali dengan beberapa film yang dibintangi oleh Leonardo DiCaprio. Salah satunya adalah film Inception. Insepsi dalam film tersebut adalah sebuah upaya untuk memasukkan sebuah mind-setting berdesain luar biasa ke dalam otak manusia dengan cara tertentu, sehingga orang yang terinsepsi itu benar-benar mengikuti petunjuk yang sudah tertanam di pola pikirnya.

Canggih, dan luar biasa. Mungkin jarang film Tanah Air yang bisa mengikuti genre film macam itu. Film yang membuat berfikir.

Tapi pointnya bukan di film itu. Tapi pada insepsi itu sendiri. Bagaimana kita sekarang sudah menelan banyak sekali informasi-informasi yang diinsepsi ke dalam pola pikir kita sehingga merubah identitas kita pelan-pelan dan tidak ketahuan.

Tidak bisa dipungkiri, media adalah aktor utama untuk bisa memasukkan suatu mind-set ke dalam pola pikir kita. Tak heran, sekarang kata hedonis, pragmatis, skeptis sudah bukan tinggal kata-kata. Mereka masuk ke dalam tindak tanduk masyarakat kita. Negara pun acak kadut. Nilai religius kabur. Kita buta dan jalan di tempat.

Sudah sepatutnya kita menyaring media dan informasi-informasi yang masuk. Tidak perlu ditelan bulat-bulat juga tidak perlu lelah mencerna. Pilih saja, dari piring dan cangkir yang mana yang akan kita santap.



Bersyukur

Pernah memimpikan sesuatu yang niscayanya mustahil? Aku mengalami itu. Kamu juga. Mereka dan kita semua pasti pernah mengalaminya.

Tak ada kata yang bisa keluar selain bersyukur banyak-banyak dan beribadah kuat-kuat ketika mimpi-mimpi tersebut keluar dari alamnya. Menjadi kenyataan.

"Tak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Tuhan semesta alam."

Aku hanya ingin sangat berterimakasih kepada Abah, Mama, Hanum, jabang anakku, kakak-kakak, ipar-ipar, mas Nasrul, kang Dudi, bang Irfan Islami, Moen, ipar-ipar, Dr. Rully, Sp.OG, Dr. Suyatno, Sp.PD, Ipul, dan semua yang berperan besar.

Terimakasih, sekali lagi terimakasih.
Sekali lagi, tanpa orang lain di sekitarnya. Eksistensi seseorang takkan pernah ada.

Ini baru permulaan, kawan. Seperti yang mas Nasrul bilang, "Welcome to the Jungle!".
Doakan aku. Semoga aku kuat dan mampu. 

Rabu, 02 Januari 2013

Penyakit Menular

Suatu saat, sebuah kerajaan yang aman dan tentram di negeri antah berantah sontak ramai terdengar desas-desus bahwa salah satu anggota keluarga raja terkena penyakit kulit yang menular. Penyakit ini membuat kulit menjadi lebih putih, mulus dan mengkilap, tapi sangat mematikan. Umur penderitanya pun kadang tidak lebih dari empat bulan. Konon, penyakit ini adalah aib bagi penderitanya.

Bagai menahan asap terbang, kabar ini pun tak bisa ditutupi dari penciuman khalayak ramai. Punggawa-punggawa pembawa berita pun gembira, ada berita hangat bagi mereka. Penyakit Putri Raja. Berita ini berasal bukan dari orang biasa, maka sajiannya pun harus jangan biasa-biasa saja. Mereka memoles berita ini, ada yang khusus membahas penyakit ini. Sayangnya, kebanyakan tabib belum pernah menemui langsung penyakit ini. Beritapun kadang salah kaprah. 

Masyarakat geger, kerajaan gempar. Negara-negara tetangga pun mulai kasak-kusuk. Berusaha mencari antidot dari penyakit ini.

Bagi masyarakat luas, penyakit menular ini merupakan aib dan sesuatu yang harus dimusnahkan. Tapi bagi beberapa orang, penyakit ini adalah berkah! Berita ini adalah kabar gembira. Mereka menelan berita ini bukan sebagai duri, tapi madu yang harus dinikmati. Ya, mereka latah mencerna berita yang masuk lewat kedua telinga. Bagi mereka, menjadikan kulit putih, mulus dan menawan adalah idam-idaman sejak lama. Murah dan berefek cepat.

Di saat kerajaan berusaha menghilangkan penyakit ini, beberapa orang berusaha melestarikannya. Dengan tujuan pribadi tentunya. Ada yang berusaha sendiri, ada yang berkongsi dengan tabib istana. Semua usaha pun dilakukan, mulai dari menutup-nutupi keadaan penderitanya sampai berusaha membahas kepada khalayak kembali bahwa penyakit ini tidak berbahaya. Semuanya berusaha. Tujuannya tidak lain, kepuasan diri.

Walhasil, kerajaan pun sampai sekarang belum bisa menyembuhkan seluruh warga yang terjangkit. Karena sebagian warga malah membudidayakannya.

Sumber: http://images.kontan.co.id/main/kartun_benny/244

Korupsi

Korupsi, bagi umumnya masyarakat Indonesia pada tahun 90an merupakan barang asing di telinga mereka. Kata ini mendadak tenar bersama dua kata lainnya, kolusi dan nepotisme, ketika muncul pergerakan reformasi menurunkan Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Umumnya masyarakat Indonesia lebih  mengenal istilah anti mirasantika yang getol sekali dikampanyekan oleh raja Dangdut, Rhoma Irama. Tak ayal, setelah istilah Korupsi menyeruak, masyarakat pun ramai. Yang ada dipikiran sebagian orang dari mereka, korupsi adalah usaha untuk memperkaya diri dari cara yang tidak baik. Dalam kata lain, mencuri secara cerdas.

Media pun ikut mensosialisasikan kata ini lewat beberapa live talk atau talk show yang khusus membahas korupsi dan mengundang narasumber-narasumber yang kompeten.

Tapi, begitulah rakyat. Pemahaman mereka tidak bisa sejauh pemahaman para narasumber yang sudah pernah berulangkali naik pesawat itu. Pemahaman mereka hanya sebatas bagaimana cara agar mereka bisa menjamin hidup mereka hari ini dan besok. Walhasil, latah pun terjadi.

Korupsi yang awalnya diwartakan dengan tujuan untuk dihindari, pelan-pelan masuk terinsepsi ke dalam setiap mindset masyarakat kita. Lambat laun, mindset ini turut berkembang seiring perjalanan globalisasi yang kian deras. Salah kaprah pun menjadi salah sekali.

Fenomena inilah yang sekarang terjadi. Dari sebuah kasus menjadi banyak kasus. Seperti tidak Indonesia kalau tidak korupsi. Na’udzubillah.


Sekarang, sebagai generasi muda. Saatnya kita mulai untuk mengontrol kran masuknya globalisasi sekaligus melakukan self-rehealing untuk diri kita sendiri. Brainwashing untuk mindset korupsi memang harus kita lakukan. Kata korupsi harus benar-benar kita hapus dan kita lupakan. Jangan sampai sekalipun terbersit keinginan mencoba atau mencicipi. Mari, kita mulai dari diri kita sendiri.

Selasa, 01 Januari 2013

Memutuskan Menikah

Tidak sedikit dari kawan-kawan yang terkaget-kaget mendengar keputusan saya menikah muda. Ya, itulah jalan yang harus saya ambil dan kini saya benar-benar menikmatinya.

Keputusan yang mungkin bagi sebagian orang adalah jalan terbaik, dan bagi segelintir lain adalah sebuah kekonyolan. Tanpa modal, tanpa pekerjaan, tanpa pacaran yang lama dan tanpa perencanaan!

Menjadi seorang suami muda dan sekaligus seorang bapak adalah masa depan setiap pria. Hampir semua lelaki yang mengaku dirinya adalah pejantan sejati selalu ingin mengakhiri haluannya pada tujuan yang sama, menjadi seorang suami sah dan seorang bapak dari benihnya sendiri.

Itu pula yang kini, kira-kira, sedang saya praktikkan dalam kehidupan saya. Mungkin bagi saya, kejadian tahun 2012 kemarin adalah sebuah tikungan besar dalam kehidupan saya. Benar-benar berubah total.

Beberapa hal yang membuat saya memutuskan menikah:
a. Menghindari fitnah
b. Menjauhi maksiat
c. Saya sangat menghormati, menyayangi dan mencintai calon istri saya.

Hanya dengan modal dengkul, dan beberapa perak di tabungan. Saya bisa meyakinkan keluarga saya dan keluarganya untuk memberikan restu dan izin. Ya, seperti yang sudah saya katakan. Seorang laki-laki harus bisa belajar menjadi jembatan antara dua keluarga. Membangun sebuah komunikasi yang baik, dan bisa memutuskan sebuah pilihan yang memuaskan kedua belah pihak. Juga banyak-banyak sabar.

Sabar? Sabar adalah kunci kuat dalam menjalin sebuah hubungan. Apalagi hubungan serius.

Istri saya adalah bungsu dari 9 bersaudara. Tanpa orangtua. Ayahnya meninggal ketika umurnya masih 8 bulan dan ibunya juga pergi saat umurnya 16 tahun.

Bisa dibayangkan, bagaimana saya harus melakukan lobi-lobi kuat dengan proposal nikah kepada delapan kepala dengan pandangan dan pemikiran yang beragam. Ada yang galak, nyablak, kalem sampai yang pembawaannya sangat dingin. Tapi, saya berhasil melewati semua level itu. Caranya? Ya, sabar.

Pertemuan kami tidak lama, saya ingat betul tanggal 1 Januari 2012 awal perjumpaan kami secara langsung. Sebelumnya kami hanya bisa berkomunikasi lewat internet dan beberapa social media yang ada. Intensitas perjumpaan saat itu juga hanya sebisanya saja. Tidak terlalu sering.

Januari = Awal bertemu
Februari, Maret, April = LDR
April = Lamaran
Mei = LDR dan persiapan
Juni = Menikah. Cepat bukan?
 
Mengapa bisa timbul cinta?

Bagi saya, dan sesuai apa yang saya rasa, cinta adalah reaksi dari beberapa akumulasi seperti kasih sayang, empati, simpati dan takdir. Saya pernah menaruh perhatian kepada beberapa wanita. Tapi, seperti magnit. Kalau kedua kutub tidak bisa saling tarik-menarik, maka tidak akan muncul daya. Ya, seperti cerita gayung tidak bersambut, tidak dapat restu atau tidak cocok. Semacam roman bernuansa kegalauan yang sepertinya harus dilalui setiap orang yang akan memulai hubungan serius. Tapi, selebihnya saya lebih percaya, faktor takdir sangat berperan di sini.

"Saya yakin, siapa pun yang bersanding bersama saya. Bagi saya, darinya saya berlabuh dan padanya saya pulang."

Selanjutnya, mungkin akan saya lanjutkan lain waktu.