Rabu, 02 Januari 2013

Penyakit Menular

Suatu saat, sebuah kerajaan yang aman dan tentram di negeri antah berantah sontak ramai terdengar desas-desus bahwa salah satu anggota keluarga raja terkena penyakit kulit yang menular. Penyakit ini membuat kulit menjadi lebih putih, mulus dan mengkilap, tapi sangat mematikan. Umur penderitanya pun kadang tidak lebih dari empat bulan. Konon, penyakit ini adalah aib bagi penderitanya.

Bagai menahan asap terbang, kabar ini pun tak bisa ditutupi dari penciuman khalayak ramai. Punggawa-punggawa pembawa berita pun gembira, ada berita hangat bagi mereka. Penyakit Putri Raja. Berita ini berasal bukan dari orang biasa, maka sajiannya pun harus jangan biasa-biasa saja. Mereka memoles berita ini, ada yang khusus membahas penyakit ini. Sayangnya, kebanyakan tabib belum pernah menemui langsung penyakit ini. Beritapun kadang salah kaprah. 

Masyarakat geger, kerajaan gempar. Negara-negara tetangga pun mulai kasak-kusuk. Berusaha mencari antidot dari penyakit ini.

Bagi masyarakat luas, penyakit menular ini merupakan aib dan sesuatu yang harus dimusnahkan. Tapi bagi beberapa orang, penyakit ini adalah berkah! Berita ini adalah kabar gembira. Mereka menelan berita ini bukan sebagai duri, tapi madu yang harus dinikmati. Ya, mereka latah mencerna berita yang masuk lewat kedua telinga. Bagi mereka, menjadikan kulit putih, mulus dan menawan adalah idam-idaman sejak lama. Murah dan berefek cepat.

Di saat kerajaan berusaha menghilangkan penyakit ini, beberapa orang berusaha melestarikannya. Dengan tujuan pribadi tentunya. Ada yang berusaha sendiri, ada yang berkongsi dengan tabib istana. Semua usaha pun dilakukan, mulai dari menutup-nutupi keadaan penderitanya sampai berusaha membahas kepada khalayak kembali bahwa penyakit ini tidak berbahaya. Semuanya berusaha. Tujuannya tidak lain, kepuasan diri.

Walhasil, kerajaan pun sampai sekarang belum bisa menyembuhkan seluruh warga yang terjangkit. Karena sebagian warga malah membudidayakannya.

Sumber: http://images.kontan.co.id/main/kartun_benny/244

Korupsi

Korupsi, bagi umumnya masyarakat Indonesia pada tahun 90an merupakan barang asing di telinga mereka. Kata ini mendadak tenar bersama dua kata lainnya, kolusi dan nepotisme, ketika muncul pergerakan reformasi menurunkan Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Umumnya masyarakat Indonesia lebih  mengenal istilah anti mirasantika yang getol sekali dikampanyekan oleh raja Dangdut, Rhoma Irama. Tak ayal, setelah istilah Korupsi menyeruak, masyarakat pun ramai. Yang ada dipikiran sebagian orang dari mereka, korupsi adalah usaha untuk memperkaya diri dari cara yang tidak baik. Dalam kata lain, mencuri secara cerdas.

Media pun ikut mensosialisasikan kata ini lewat beberapa live talk atau talk show yang khusus membahas korupsi dan mengundang narasumber-narasumber yang kompeten.

Tapi, begitulah rakyat. Pemahaman mereka tidak bisa sejauh pemahaman para narasumber yang sudah pernah berulangkali naik pesawat itu. Pemahaman mereka hanya sebatas bagaimana cara agar mereka bisa menjamin hidup mereka hari ini dan besok. Walhasil, latah pun terjadi.

Korupsi yang awalnya diwartakan dengan tujuan untuk dihindari, pelan-pelan masuk terinsepsi ke dalam setiap mindset masyarakat kita. Lambat laun, mindset ini turut berkembang seiring perjalanan globalisasi yang kian deras. Salah kaprah pun menjadi salah sekali.

Fenomena inilah yang sekarang terjadi. Dari sebuah kasus menjadi banyak kasus. Seperti tidak Indonesia kalau tidak korupsi. Na’udzubillah.


Sekarang, sebagai generasi muda. Saatnya kita mulai untuk mengontrol kran masuknya globalisasi sekaligus melakukan self-rehealing untuk diri kita sendiri. Brainwashing untuk mindset korupsi memang harus kita lakukan. Kata korupsi harus benar-benar kita hapus dan kita lupakan. Jangan sampai sekalipun terbersit keinginan mencoba atau mencicipi. Mari, kita mulai dari diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar