Suatu saat, sebuah kerajaan yang aman dan tentram di negeri
antah berantah sontak ramai terdengar desas-desus bahwa salah satu anggota
keluarga raja terkena penyakit kulit yang menular. Penyakit ini membuat kulit
menjadi lebih putih, mulus dan mengkilap, tapi sangat mematikan. Umur penderitanya
pun kadang tidak lebih dari empat bulan. Konon, penyakit ini adalah aib bagi
penderitanya.
Sekarang, sebagai generasi muda. Saatnya kita mulai untuk mengontrol kran masuknya globalisasi sekaligus melakukan self-rehealing untuk diri kita sendiri. Brainwashing untuk mindset korupsi memang harus kita lakukan. Kata korupsi harus benar-benar kita hapus dan kita lupakan. Jangan sampai sekalipun terbersit keinginan mencoba atau mencicipi. Mari, kita mulai dari diri kita sendiri.
Bagai menahan asap terbang, kabar ini pun tak bisa ditutupi
dari penciuman khalayak ramai. Punggawa-punggawa pembawa berita pun gembira,
ada berita hangat bagi mereka. Penyakit Putri Raja. Berita ini berasal bukan
dari orang biasa, maka sajiannya pun harus jangan biasa-biasa saja. Mereka
memoles berita ini, ada yang khusus membahas penyakit ini. Sayangnya,
kebanyakan tabib belum pernah menemui langsung penyakit ini. Beritapun kadang
salah kaprah.
Masyarakat geger, kerajaan gempar. Negara-negara tetangga
pun mulai kasak-kusuk. Berusaha mencari antidot dari penyakit ini.
Bagi masyarakat luas, penyakit menular ini merupakan aib dan
sesuatu yang harus dimusnahkan. Tapi bagi beberapa orang, penyakit ini adalah
berkah! Berita ini adalah kabar gembira. Mereka menelan berita ini bukan
sebagai duri, tapi madu yang harus dinikmati. Ya, mereka latah mencerna berita
yang masuk lewat kedua telinga. Bagi mereka, menjadikan kulit putih, mulus dan
menawan adalah idam-idaman sejak lama. Murah dan berefek cepat.
Di saat kerajaan berusaha menghilangkan penyakit ini,
beberapa orang berusaha melestarikannya. Dengan tujuan pribadi tentunya. Ada
yang berusaha sendiri, ada yang berkongsi dengan tabib istana. Semua usaha pun
dilakukan, mulai dari menutup-nutupi keadaan penderitanya sampai berusaha
membahas kepada khalayak kembali bahwa penyakit ini tidak berbahaya. Semuanya
berusaha. Tujuannya tidak lain, kepuasan diri.
Walhasil, kerajaan pun sampai sekarang belum bisa
menyembuhkan seluruh warga yang terjangkit. Karena sebagian warga malah
membudidayakannya.
Sumber: http://images.kontan.co.id/main/kartun_benny/244 |
Korupsi
Korupsi, bagi umumnya masyarakat Indonesia pada tahun 90an
merupakan barang asing di telinga mereka. Kata ini mendadak tenar bersama dua
kata lainnya, kolusi dan nepotisme, ketika muncul pergerakan reformasi
menurunkan Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Umumnya masyarakat Indonesia lebih mengenal istilah anti mirasantika yang getol
sekali dikampanyekan oleh raja Dangdut, Rhoma Irama. Tak ayal, setelah istilah
Korupsi menyeruak, masyarakat pun ramai. Yang ada dipikiran sebagian orang dari mereka, korupsi
adalah usaha untuk memperkaya diri dari cara yang tidak baik. Dalam kata lain,
mencuri secara cerdas.
Media pun ikut mensosialisasikan kata ini lewat beberapa
live talk atau talk show yang khusus membahas korupsi dan mengundang narasumber-narasumber
yang kompeten.
Tapi, begitulah rakyat. Pemahaman mereka tidak bisa sejauh
pemahaman para narasumber yang sudah pernah berulangkali naik pesawat itu.
Pemahaman mereka hanya sebatas bagaimana cara agar mereka bisa menjamin hidup
mereka hari ini dan besok. Walhasil, latah pun terjadi.
Korupsi yang awalnya diwartakan dengan tujuan untuk
dihindari, pelan-pelan masuk terinsepsi ke dalam setiap mindset masyarakat
kita. Lambat laun, mindset ini turut berkembang seiring perjalanan globalisasi
yang kian deras. Salah kaprah pun menjadi salah sekali.
Fenomena inilah yang sekarang terjadi. Dari sebuah kasus
menjadi banyak kasus. Seperti tidak Indonesia kalau tidak korupsi. Na’udzubillah.
Sekarang, sebagai generasi muda. Saatnya kita mulai untuk mengontrol kran masuknya globalisasi sekaligus melakukan self-rehealing untuk diri kita sendiri. Brainwashing untuk mindset korupsi memang harus kita lakukan. Kata korupsi harus benar-benar kita hapus dan kita lupakan. Jangan sampai sekalipun terbersit keinginan mencoba atau mencicipi. Mari, kita mulai dari diri kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar