Kalau kau ingin pintar, mengajarlah...
Kalimat tersebut terngiang-ngiang hebat di kepala. Betapa
tidak, bagaimana mungkin seseorang bisa pintar dengan mengajar. Bukankah
faaqidu as-syai la yu’thi? Itulah yang terus bergema di dalam otakku.
Orang yang tidak mempunyai apa-apa tidak akan pernah bisa
memberikan apa-apa. Ibarat ingin melempar manggis, batu di tangan tidak
terbang. Nihil. Aku penasaran dengan mutiara yang ada di balik ungkapan yang
selalu didengungkan oleh guruku, selain ungkapan Man Jadda Wajada yang sekarang
terkenal itu.
Guruku, di balik penampilan fisiknya yang sederhana, seorang
yang hebatnya luar biasa. Kalau kau berjumpa dengannya, kau sama sekali tak akan menemukan
alasan untuk bisa kagum padanya. Dengan ukuran tinggi yang di bawah ideal bagi
seorang laki-laki, tak ada hal yang membuat dirinya bisa direndahkan. Kalau
sudah bicara, ceplas-ceplosnya keluar dalam bahasa asing yang -menurutku, sekali lagi, ini menurutku- mungkin hanya
bule-bule Inggris dan taipan-taipan Arab yang mengerti. Suaranya tinggi. Kalau
sedang mengajar di depan kelas, dia sering sekali ditemukan dalam keadaan mata
terbelalak, berdiri berjingkat dan berteriak “Plis, pey etensyen tu mi!”
kira-kira, itu yang bisa telingaku tangkap saat itu.
Ternyata, profesi guru tidak semua orang bisa mengerti.
Tidak semua orang bisa. Dan tidak semua yang memahami betul-betul seluk
beluknya. Menjadi guru, bukan berarti kita tidak belajar. Menjadi guru
tertuntut harus lebih tahu, harus lebih mengerti dan tentunya harus lebih hebat
dari murid-muridnya. Menjadi guru itu mudah-mudah sulit.
Menjadi guru tidak hanya mengerti bahasa buku, menjadi guru
harus mengerti bahasa wajah, bahasa mata dan bahasa tangis. Menjadi guru, merangkap figur guidance and counseling
sekaligus pengajar yang gigih. Menjadi guru adalah menjadi figur yang luar
biasa. Aku yakin, superhero dan manusia super bagi Albert Einstein adalah
gurunya sendiri.
Kalau kau pernah baca dua novel dari dua orang murid guru-guru
hebat kau pasti sadar betul pentingnya figur guru dalam kehidupan umat manusia.
Nabi Musa As saja berguru dengan Nabi Khidir As. Nabi Muhammad SAW yang kita
junjung sangat tinggi itu pun berguru dengan Jibril As. Tak ada yang aneh dengan status guru dan murid. Kedua-duanya sama mulia, hanya guru lebih mulia
sedikit di atasnya.
Dalam novel Laskar Pelangi yang fenomenal kau pasti
menemukan sosok Bu Muslimah dan Pak Harfan. Ikhlas dan rela menolong anak
pelosok Belitong belajar hingga mereka mengenal alfabet lebih dari mengenal
nama mereka sendiri. Lihatlah keringat Bu Muslimah. Keringat itu, keringat
asam seorang guru. Beliau lebih pintar dari muridnya, dan itu harus. Agar muridnya
pintar pula seperti beliau, lalu menjadi lebih pintar lagi nantinya. Semacam
investasi ilmiah.
Kau lihat pula Ustadz Salman, tokoh inspirator sekaligus
motivator dalam novel yang tak kalah fenomenal, Negeri 5 Menara. Usahanya
selain mengajar di kelas. Dia rajin pula memonitor murid-muridnya di asrama.
Tidak hanya di kelas, totalitas pendidikan, itu guruku menyebutnya.
Twenty-hours Guidancing.
Ya, akhirnya aku sadar. Menjadi guru, harus lebih tahu.
Menjadi guru adalah menjadi insan kamil yang aktif dan tidak pasif. Tidak
menunggu, tidak berdiam, selalu gerak. Suka membaca. Gemar berkreasi. Murah
senyum dan tentunya sehat jasmani dan rohani.
Bukan omong kosong bahwa kalau ingin pintar, harus menjadi guru. Karena tidak ada di muka bumi ini guru yang bodoh. Yang ada hanyalah guru yang malas, pasif dan pragmatis. Na’udzubillah min dzalik.Kyaiku pernah berkata dengan tegas, “Kalau tidak menjadi lebih baik, lebih baik kau tidak usah lahir dan aku tidak harus mati. Hanya nambah jatah beras saja.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar