Kamis, 01 November 2012

Please, pay attention to me!


Kalau kau ingin pintar, mengajarlah...
Kalimat tersebut terngiang-ngiang hebat di kepala. Betapa tidak, bagaimana mungkin seseorang bisa pintar dengan mengajar. Bukankah faaqidu as-syai la yu’thi? Itulah yang terus bergema di dalam otakku.
Orang yang tidak mempunyai apa-apa tidak akan pernah bisa memberikan apa-apa. Ibarat ingin melempar manggis, batu di tangan tidak terbang. Nihil. Aku penasaran dengan mutiara yang ada di balik ungkapan yang selalu didengungkan oleh guruku, selain ungkapan Man Jadda Wajada yang sekarang terkenal itu.
Guruku, di balik penampilan fisiknya yang sederhana, seorang yang hebatnya luar biasa. Kalau kau berjumpa dengannya, kau sama sekali tak akan menemukan alasan untuk bisa kagum padanya. Dengan ukuran tinggi yang di bawah ideal bagi seorang laki-laki, tak ada hal yang membuat dirinya bisa direndahkan. Kalau sudah bicara, ceplas-ceplosnya keluar dalam bahasa asing yang -menurutku, sekali lagi, ini menurutku- mungkin hanya bule-bule Inggris dan taipan-taipan Arab yang mengerti. Suaranya tinggi. Kalau sedang mengajar di depan kelas, dia sering sekali ditemukan dalam keadaan mata terbelalak, berdiri berjingkat dan berteriak “Plis, pey etensyen tu mi!” kira-kira, itu yang bisa telingaku tangkap saat itu.
Ternyata, profesi guru tidak semua orang bisa mengerti. Tidak semua orang bisa. Dan tidak semua yang memahami betul-betul seluk beluknya. Menjadi guru, bukan berarti kita tidak belajar. Menjadi guru tertuntut harus lebih tahu, harus lebih mengerti dan tentunya harus lebih hebat dari murid-muridnya. Menjadi guru itu mudah-mudah sulit.
Menjadi guru tidak hanya mengerti bahasa buku, menjadi guru harus mengerti bahasa wajah, bahasa mata dan bahasa tangis. Menjadi guru,  merangkap figur guidance and counseling sekaligus pengajar yang gigih. Menjadi guru adalah menjadi figur yang luar biasa. Aku yakin, superhero dan manusia super bagi Albert Einstein adalah gurunya sendiri.
Kalau kau pernah baca dua novel dari dua orang murid guru-guru hebat kau pasti sadar betul pentingnya figur guru dalam kehidupan umat manusia. Nabi Musa As saja berguru dengan Nabi Khidir As. Nabi Muhammad SAW yang kita junjung sangat tinggi itu pun berguru dengan Jibril As. Tak ada yang aneh dengan status guru dan murid. Kedua-duanya sama mulia, hanya guru lebih mulia sedikit di atasnya.
Dalam novel Laskar Pelangi yang fenomenal kau pasti menemukan sosok Bu Muslimah dan Pak Harfan. Ikhlas dan rela menolong anak pelosok Belitong belajar hingga mereka mengenal alfabet lebih dari mengenal nama mereka sendiri. Lihatlah keringat Bu Muslimah. Keringat itu, keringat asam seorang guru. Beliau lebih pintar dari muridnya, dan itu harus. Agar muridnya pintar pula seperti beliau, lalu menjadi lebih pintar lagi nantinya. Semacam investasi ilmiah.
Kau lihat pula Ustadz Salman, tokoh inspirator sekaligus motivator dalam novel yang tak kalah fenomenal, Negeri 5 Menara. Usahanya selain mengajar di kelas. Dia rajin pula memonitor murid-muridnya di asrama. Tidak hanya di kelas, totalitas pendidikan, itu guruku menyebutnya. Twenty-hours Guidancing.
Ya, akhirnya aku sadar. Menjadi guru, harus lebih tahu. Menjadi guru adalah menjadi insan kamil yang aktif dan tidak pasif. Tidak menunggu, tidak berdiam, selalu gerak. Suka membaca. Gemar berkreasi. Murah senyum dan tentunya sehat jasmani dan rohani.

Kyaiku pernah berkata dengan tegas, “Kalau tidak menjadi lebih baik, lebih baik kau tidak usah lahir dan aku tidak harus mati. Hanya nambah jatah beras saja.”
Bukan omong kosong bahwa kalau ingin pintar, harus menjadi guru. Karena tidak ada di muka bumi ini guru yang bodoh. Yang ada hanyalah guru yang malas, pasif dan pragmatis. Na’udzubillah min dzalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar